Pemerintah mewacanakan pemberian subsidi gaji bagi pekerja yang memiliki gaji di bawah Rp 5 juta, yaitu berupa uang tunai Rp 600 ribu selama 4 bulan.
Pekerja yang akan mendapatkan subsidi upah ini akan didasarkan pada pekerja yang sudah terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan.
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar mengatakan, subsidi gaji ini baik dan patut didukung.
Menurutnya, selama ini, faktanya, banyak perusahaan yang terdampak Covid-19, sehingga upah pekerja dipotong karena cash flow perusahaan terganggu.
Sementara, roda produksi harus tetap berjalan. Memang memotong upah untuk tetap menjalankan roda produksi pilihan sulit. Tetapi, itu lebih baik dibandingkan harus melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau merumahkan pekerja tanpa upah.
“Saya menilai subsidi gaji ini akan mampu mendongkrak daya beli pekerja. Sehingga mendukung konsumsi masyarakat, yang pada akhirnya akan mendukung pertumbuhan ekonomi menjadi positif,” ujar Timboel Siregar, Senin (10/08/2020).
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia di kuartal II yang tercatat minus 5,32 persen, lanjutnya, menjadi persoalan serius bagi Pemerintah.
Pada kuartal II-2020 ini, konsumsi terkontraksi minus 5,51 persen. Oleh karenanya, subsidi gaji ini diharapkan mendongkrak konsumsi, sehingga pertumbuhan ekonomi bisa menjadi positif di kuartal III dan IV.
Namun demikian, menurut Timboel Siregar, subsidi gaji ini harus memiliki mekanisme penerima peserta yang memang benar-benar tepat sasaran.
“Jangan sampai proses seperti yang terjadi pada Program Kartu Prakerja yang tidak tepat sasaran terulang di subsidi gaji ini,” ujar Timboel Siregar.
Lebih lanjut, Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Opsi) ini mengatakan, bila disebutkan penetapan peserta penerima subsidi gaji ini berdasarkan data yang ada di BPJS Ketenagakerjaan, maka dipastikan subsidi ini belum tentu tepat sasaran seluruhnya.
“Mengingat, masih banyak perusahaan yang tidak mendaftarkan pekerjanya di BPJS Ketenagakerjaan. Apalagi untuk pekerja outsourcing dan kontrak kerja. Jangan sampai hanya karena tidak didaftarkan di BPJS Ketenagakerjaan maka pekerja tersebut tidak terjangkau oleh program Subsidi Gaji ini,” tuturnya.
Persoalan lainnya yang akan muncul, menurutnya, adalah ada pengusaha yang mendaftarkan upahnya sebatas upah minimum agar iuran ke BPJS Ketenagakerjaan menjadi relatif lebih kecil, padahal gaji sesungguhnya di atas Rp 5 juta.
Upah minimum tertinggi di Indonesia saat ini masih di bawah Rp 5 juta. Bila ada pekerja yang bergaji di atas Rp 5 juta, namun didaftarkan ke BPJS Ketenagakerjaan dengan sebatas upah minimum, katanya, maka pekerja tersebut akan mendapatkan subsidi tersebut.
“Ini tidak adil. Sementara itu masih banyak pekerja yang tidak didaftarkan pemberi kerja ke BPJS Ketenagakerjaan yang sebenarnya berhak mendapatkan subdisi ini,” ujar Timboel Siregar.
Oleh karena itu, dia mengatakan, menjadikan data peserta di BPJS Ketenagakerjaan merupakan hal baik, tetapi seharusnya data tersebut sebagai pembanding saja, bukan sebagai acuan.
“Saya mengusulkan agar Pemerintah cq Kemnaker cq Disnaker untuk pro aktif mendatangi perusahaan-perusahaan. Sehingga bisa mendata langsung pekerja-pekerja yang memang terdampak Covid-19. Jangan sampai ada perusahaan yang mampu, tetapi memanfaatkan subsidi ini untuk mengurangi upah pekerja sehingga pekerjanya mendapat subsidi gaji dari Pemerintah,” bebernya.
Selain itu, Pemerintah cq Kemenaker cq Disnaker harus berkomunikasi dengan Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB), sehingga Pemerintah akan mendapatkan data pekerja yang valid agar subsidi ini benar-benar tepat sasaran.
“Saya mendorong Pemerintah membuka ruang kepada Pengusaha untuk mendaftarkan pekerjanya mendapatkan subsidi gaji ini. Demikian juga Pemerintah membuka ruang bagi SP/SB mendaftarkan anggotanya mendapatkan subsidi gaji ini dengan tetap berkoordinasi dengan pemberi kerja,” tandas Timboel Siregar.(RGR)