Suara Oposisi – Indonesia kembali akan menggelar Pemilihan Kepala Daerah 9 Desember 2020. Pemilihan kali ini direncanakan serentak dan mengikuti protokoler kesehatan yang di tetapkan pemerintah. Saat ini maraknya strategi kampanye baik positif maupun negatif digunakan oleh para kandidat dan tim sukses untuk mendulang suara, menjadi perhatian semua lapisan masyarakat.
Ancaman penggunaan politik identitas terus menjadi momok politik (political spectre) yang patut dicermati dan didalami oleh pemangku kepentingan yang berwenang, karena politik identitas akan memicu terjadinya polarisasi masyarakat khususnya sebelum, selama bahkan pasca pelaksanaan pesta demokrasi tersebut.
Sinyal-sinyal awal akan munculnya politik identitas mulai tercium di beberapa daerah yang akan menggelar Pilkada 2020 seperti misalnya di pilwakot Tangerang Selatan .
Teofilus Mian Parluhutan selaku Direktur Eksektif Gerakan Muda Visioner Indonesia (GEMUVI) mengkhawatirkan penggunaan politik identitas dalam Pilkada 2020 tersebut. Apalagi dengan menggunakan pendekatan issu agama. Saya berpandangan issu ini akan digunakan oleh oknum-oknum tertentu untuk menjatuhkan marwah kandidat lain. Silahkan bertarung secara fair. Kita sebagai mmasyarakat cerdas harus memilih calon kepala daerah memiliki trac record untuk membangun daerahnyanya. Ini baru salah satu contoh , masih banyak di daerah lain yang menggunakan praktek praktek yang sama menggunakan kesamaan agama , suku dan ras untuk memobilisasi massa dan suara tambahnya.
Menurut Teofilus dalam beberapa hajat politik sebelumnya baik pilpres mau pilkada masyarakat kerap jadi korban, ketika termakan narasi negatif. Cara ini merusak sistem demokrasi di Indonesia yang mengedepankan aspek keadilan berpendapat, terlepas berasal dari suku atau agama apa pun dia.
Senada dengan itu Perwakilan GEMUVI Tangsel Aisyah Shafira menyatakan “Sebagai bangsa yang semakin cerdas berdemokrasi, sudah saatnya mengesampingkan hal-hal yang bersifat mendiskriminasi satu sama lain. Tujuan pemilu, idealnya memilih pemimpin yang amanah, jujur, dan bisa mensejahterakan rakyat. Masing-masing individu harus bisa mengutamakan sikap toleransi antar sesama umat manusia agar perpecahan bisa dihindari.” Papar nya
Shafira juga menambahkan untuk meminimalisir politik identitas dalam Pilkada 2020 dapat dilakukan dengan langkah bersama untuk mencegah politik SARA dan politik identitas di Pilkada 2020. Pertama, partai politik perlu mengusung kader-kader yang berkualitas dan berintegritas di Pilkada sehingga pertarungan di Pilkada tidak diwarnai oleh kampanye berbau SARA, tetapi pertarungan program-program membangun daerah. Kedua, menciptakan masyarakat yang melek digital. Karenanya pendidikan bagi warga untuk menjadi pengguna digital yang bijaksana mesti menjadi agenda prioritas berkesinambungan dan juga terkonsolidasi antar semua pemangku kepentingan terkait pemilu, meliputi KPU, Bawaslu, Kominfo, Kemdiknas, Kemdikti, Kempora, KPPPA, Kemendagri, pemerintah daerah, dan masyarakat sipil tutupnya.