Diduga Memeras Pengelola Cafe-Cafe di Jakarta Pusat, Satpol PP Menangkis Hanya Terapkan Denda Rp 10 Juta Selama Masa PSBB Transisi

Ekonomi100 Dilihat

Kepala Seksi Pengendalian dan Operasi Satuan Polisi Pamong Praja Kota Jakarta Pusat (Kasi Dalops Satpol PP Jakpus) Gatra menepis adanya dugaan permintaan uang dan dugaan pemerasan kepada pengelola Cafe di Jakarta Pusat.

Gatra menyampaikan, pihaknya mempunyai bukti-bukti kuat kalau cafe tersebut melakukan pelanggaran dengan tidak menerapkan Protokol Kesehatan dalam masa pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar Transisi (PSBB Transisi) di Jakarta.

“Benar, dia membayar Rp 5 juta sebagai sanksi denda. Sebagaimana terkamtub dalam Pergub Nomor 51 Tahun 2020. Dan pembayaran itu langsung dilakuk dengan cara mentransferkannya ke Rekening Bank DKI,” jelas Gatra kepada wartawan, saat ditemui di kantornya, Selasa (18/08/2020).

Gatra menjelaskan, di dalam Peraturan Gubernur Nomor 51 Tahun 2020 pada Bab IV Pasal 15 ayat 3 poin b, menyebut, nominal yang dicantumkan sebesar Rp 10 juta.

Gatra mengungkapkan, alasan Satpol PP Jakarta Pusat mau menerima denda sebesar setengah dari yang seharusnya, dikarenakan pihak cafe membuat Surat Pernyataan karena tidak bisa membayar full.

“Kenapa kita tidak kenakan denda Rp 10 juta, karena dia membuat Surat Tertulis yang menyatakan dia hanya mampu membayar Rp 5 juta saja,” ujar Gatra.

Kemudian, Gatra juga mengatakan, pada pasal yang sama di poin A Pergub itu dijelaskan adanya teguran tertulis.

Namun, Gatra menepis, teguran tertulis itu tidak dilakukan Satpol PP Jakarta Pusat, dikarenakan adanya arahan langsung dari Pimpinannya untuk segera menindaktegas.

“Jadi, tidak lagi teguran tertulis. Di Pergub 51 tahun 2020 tentang PSBB Transisi itu sudah disosialisasikan di tingkat Kecamatan dan Kelurahan. Pada saat penindakan, ya jatuhnya langsung denda. Karena arahan dari pimpinam tidak ada lagi sosialisasi di masa PSBB Transisi,”tandas Gatra.

Pengelola Cafe inisial PNM menyampaikan, dirinya tidak memfitnah bahwa pihak Satpol PP Jakarta Pusat meminta uang kepada dirinya dan karyawannya.

“Saya tidak fitnah. Saya Cuma sering didatangi. Padahal kita ada alat cuci tangan, dan pakai masker, juga ke tamu begitu. Tetapi mereka bandel. Kalau memang saya enggak boleh buka restoran yang menjual minuman dan makanan ya mending ditutup saja oleh pengelola,” jelasnya.

Dikarenakan kondisi yang sangat sulit di masa pandemi Covid-19, apalagi harus membayar kepada pihak Pemprov DKI Jakarta untuk membuka usahanya, dia pun mengaku sudah tak sanggup menjalankan usaha itu. Bahkan, karyawannya pun terpaksa harus dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

“Kami sudah PHK pegawai 24 orang, yang punya anak dan isteri. Hanya karena tidak sanggup lagi memberi upah mereka. Saya serba bingung harus apa lagi,” lanjutnya.

Sedangkan ulah Satpol PP Jakarta Pusat selalu berupaya mencari-cari alasan agar usahanya tutup. Jika tidak mau tutup, maka uang yang diminta.

“Kemarin ada tamu duduk pasangan juga langsung difoto. Dan kami disuruh menghadap kembali oleh Satpol PP Provinsi dan terkena denda Rp 10 juta lagi. SIM Supervisor kami pun ditahan,” ungkapnya.

Dia berharap, meskipun ada penindakan usaha pada masa PSBB Transisi yang diterapkan oleh Pemprov DKI Jakarta, hendaknya dilakukan secara persuasif, dengan sosialisasi yang memadai.

“Sosialisasi lebih dahulu dong. Jangan langsung kena sanksi. Kami nurut kok. Jangan tiba-tiba ada inspeksi lalu kami kena pasal dan kena sanksi denda. Kami ini orang kecil yang tidak mendapat subsidi dari Pemerintah akibat pandemi Covid-19,” lanjutnya.

Harapannya, hendaknya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta setidaknya membuat semacam selebaran untuk cafe-cafe mengenai pelaksanaan PSBB Transisi dan penindakan bagi yang tidak taat.

“Harusnya ada setidaknya selebaran untuk cafe-cafe. Harus ini, gak boleh itu. Misalnya. Dan jangan bilang gak baca berita, gak lihat tivi dan lain-lain. Kami ini pekerja malam. Enggak pernah lihat tivi untuk itu. Pulang ke rumah, tidur. Dan sore kerja kembali. Kalau ada selebaran untuk cafe kami, kami akan ikuti aturan-aturannya,” jelasnya.

Dia mengatakan, untuk informasi mengenai Peraturan Gubernur yang disebut oleh Satpol PP Kota Jakarta Pusat itu pun, jangankan pekerja cafe, masyarakat umum lainnya belum tentu tahu dan faham apa saja isinya.

“Kalau disuruh liat media internet pun kami tidak jelas dan takut banyak hoax-hoaxnya. Karena kawan-kawan kami yang kerja di tempat serupa juga tetap boleh buka kok. Seperti di Holly Wings Group, Beer Garden Group dan grup-grup cafe besar yang punya nama, dan lain-lain lagi,” ujarnya.

Dia mengakui, untuk denda yang diminta oleh Satpol PP Jakarta Pusat yang diminta kepada dirinya, ditransfer secara resmi ke rekening Bank DKI.

“Memang kami mentransfer ke Bank DKI secara resmi. Tapi yang kami sayangkan, kenapa tidak disosialisasikan secara tertulis dan tercantum ke cafe kami. Bukan harus kami sendiri yang mencari peraturan sendiri melalui media atau tivi atau media online dan lain sebagainya,” cetusnya.

Dia sangat menyayangkan sikap dan tindakan arogan yang dilakukan aparat pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan, yang dengan hanya mengandalkan Pergub berupaya mematikan masyarakat yang tengah berupaya mencari makan dan menghidupi keluarga-keluarga yang kesusahaan di tengah Covid-19 ini.

“Kami tidak kenal para Pejabat yang membuat aturan. Dan peraturan dan mereka yang menentukan, semua kami tak kenal. Jadi, sosialisasikan dahulu, baru setelah itu kami akan mengikuti,” tandasnya.

Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan dan jajarannya diminta segera menindaktegas para oknum Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) di lingkungan DKI Jakarta, yang diduga memanfaatkan pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar Transisi (PSBB Transisi) di Ibukota Jakarta sebagai ajang pemerasan kepada cafe-cafe yang memulai membuka usahanya di masa sulit ini.

Salah seorang pengelola Cafe di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, mengaku sering didatangi sejumlah oknum Satpol PP dari Jakarta Pusat, dan meminta sejumlah uang agar usaha yang baru saja mulai beroperasi setelah sekian bulan berhenti karena pandemi Covid-19 itu bisa berjalan kembali.

Tidak tanggung-tanggung, menurut pria berkepala plontos yang enggan disebut namanya ini, oknum Satpol PP dari Jakarta Pusat itu rutin mendatangi cafe yang dikelolanya, dan selalu melakukan penyelesaian dengan meminta sejumlah uang.

“Lima juta diminta. Saya kan enggak sanggup. Cafe belum ramai pengunjung karena masih sepi dengan pemberlakuan PSBB Covid ini,” ungkap pria yang belum lama mengelola Cafe inisial PLM di Menteng, Jakarta Pusat itu.

Dia juga mengeluhkan, para karyawannya yang akhirnya harus mengalami pemotongan upah. Selain karena cafe sepi pengunjung, para oknum Satpol PP dari Jakarta Pusat juga menyedot pendapatan cafe yang belum memadai di masa pandemi Covid-19 ini.

“Bagaimana saya mau bayar upah pekerja saya? Jadinya kemakan oleh mereka (oknum Satpol PP),” ujarnya.

Setiap kali mendatangi Cafe, lanjutnya, para oknum Satpol PP itu beralasan untuk mengecek pemberlakuan protokol kesehatan Covid-19 di tempat usahanya itu. Padahal, ijin dan juga ketentuan protokol kesehatan sudah diterapkannya di Cafe.

“Entahlah, ada saja alasan yang dibuat mereka. Entah terlihatnya di sekitar Cafe ada salah satu pengunjung yang kebetulan belum mengenakan maskerlah, entah apakah sudah di cek kesehatanlah. Padahal, kami selalu nurut dengan ketentuan. Dan menerapkan protokol kesehatan,” jelasnya.

Karena itu, dia berharap, pimpinan Satpol PP dan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan menindak para oknum petugas seperti itu.

“Kalau boleh, juga dikembalikan aja uang yang diambilin itu. Itu kan buat bayar karyawan saya yang bekerja loh,” harapnya.

Pria ini sempat menyodorkan sejumlah nama Satpol PP dari Jakarta Pusat yang sering beroperasi dan meminta uang padanya. Yakni oknum Satpol PP dengan inisial Brn, Gtr, Aj, Vr.

Atas tudingan itu, Kepala Seksi Pengendalian dan Operasional (Kasie Dalops) Satpol PP Kota Jakarta Pusat, Gatra menepis dugaan tersebut. Menurutnya, semua uang atau denda langsung dikirimkan ke Bank DKI sesuai Pergub 51 Tahun 2020.

“Kami memberikan sanksi denda yang langsung dibayarkan ke Bank DKI. Dan kami tidak pernah menerima cash. Karena berdasarkan ketetapan Pergub 51 seluruh denda disetor ke Bank DKI,” ujar Gatra.

Gatra juga mengatakan siap membuktikan setoran ke Bank DKI. “Kami (siap) memperlihatkan BAP dan juga setoran ke Bank DKI-nya,” ujarnya.

Anggota Komisi A DPRD Provinsi DKI Jakarta, Jamaludin mengingatkan, jika ada oknum Satpol PP yang terbukti meminta uang atau diduga melakukan pemerasan, maka petugas seperti itu telah melanggar ketentuan peraturan dan Undang-Undang.

“Saya sangat tidak setuju. Dan itu pasti ulah oknum Satpol PP yang tidak mencerminkan Satpol PP secara keseluruhan,” ujar Jamal.

Lebih lanjut, politisi Partai Golkar ini juga meminta oknum Satpol PP seperti itu segera ditindaktegas oleh pimpinannya.

Untuk keempat kalinya, Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan telah memperpanjang status Pemberlakuan Sosial Berskala Besar (PSBB) atau yang dikenal PSBB Transisi di Ibukota Jakarta. Perpanjangan pemberlakuan PSBB Transisi ini terhitung 13 Agustus 2020 sampai 27 Agustus 2020.

“Kami memutuskan untuk kembali memperpanjang PSBB masa transisi di fase pertama ini, untuk keempat kalinya hingga tanggal 27 Agustus 2020,” ujar Gubernur Anies, Rabu (13/08/2020) lalu.(RGR/JTM)