Junimart Girsang: Persidangan Perkara Pidana Secara Virtual Melanggar Aturan

Uncategorized102 Dilihat

Mahkamah Agung (MA) diminta untuk lebih kreatif dan bijak dalam menerapkan persidangan dalam perkara pidana. Jangan menggelar persidangan perkara pidana secara virtual.

Sebab, persidangan perkara pidana secara virtual itu melanggar aturan dan hukum. Selain itu, proses pembuktian dan pencarian kebenaran dan keadilan hukum dalam perkara pidana itu bisa kacau balau, dan tidak tercapai.

Hal itu ditegaskan Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDIP, Junimart Girsang di Jakarta, Minggu (20/09/2020).

Menurut Junimart Girsang, alasan adanya pandemi Covid-19 yang memaksa Mahkamah Agung (MA) bersama Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) untuk menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) dalam pelaksanaan persidangan perkara pidana secara virtual, tidak bisa ditolerir.

Sebab, dikatakan politisi kelahiran Sidikalang, Sumatera Utara (Sumut) ini, dalam persidangan perkara pidana, semua pihak yang terkait harus hadir secara langsung di muka pengadilan.

“Persidangan perkara pidana secara virtual atau online itu melanggar aturan. Semua mengenai tata cara dan mekanisme persidangan sudah diatur di dalam Undang-Undang, di Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Nah, persidangan perkara pidana secara virtual itu tidak sesuai dengan KUHAP. Persidangan perkara pidana virtual itu tidak diperbolehkan. Itu melanggar aturan,” tegas Junimart Girsang.

Polisisi PDIP dari Daerah Pemilihan Sumatera Utara III (Dapil Sumut III) ini menjelaskan, agak berbeda dengan perkara lainnya, seperti Perdata, di perkara Pidana, persidangannya harus betul-betul untuk mencari kebenaran meteriil.

Dan semua pihak wajib hadir di muka persidangan. Baik terdakwanya, jaksanya, kuasa hukum dan Hakim wajib hadir di persidangan langsung secara bersama-sama, untuk mencari kebenaran materiil itu. Dan itu ketentuan di KUHAP. Tidak boleh diabaikan itu.

“Selain karena ada persoalan jaringan atau alat-alat dalam persidangan virtual, memang harus hadir dan mencari pembuktian kebenaran materiil, ini yang enggak bisa diwadahi hanya dengan sidang virtual,” ujarnya.

Oleh karena itu, lanjutnya, adanya SKB yang diterbitkan untuk melegalisasi pelaksanaan persidangan perkara pidana secara virtual itu sudah tidak bisa ditolerir juga.

“Itu tidak boleh melanggar ketentuan di Undang-Undang. Semuanya harus melalui KUHAP. Ketentuan atau kesepakatan dalam SKB tidak lebih berwenang daripada KUHAP. Undang-Undangnya ya KUHAP. Harus mengacu ke KUHAP dong,” ujarnya.

Junimart Girsang malah mempertanyakan Mahkamah Agung (MA) yang berlindung di balik alasan adanya pandemi Covid-19 sehingga melegalkan pelaksanaan sidang perkara pidana virtual itu tetap dilakukan.

“Justru, seharusnya Mahkamah Agung (MA) harus memiliki upaya yang tidak melangkahi Undang-Undang dong. Jangan karena ada Covid-19, malah pencarian kebenaran materiil jadi dilakukan asal-asalan. Enggak boleh dong,” imbuhnya.

Pria yang sudah malang melintang di dunia Advokat ini menyatakan, dalam kondisi Covid-19 begini, MA seharusnya tetap konsisten melaksanakan Protokol Kesehatan (Prokes).

Memakai masker, mencuci tangan dengan hand sanitizer, menjaga jarak dalam persidangan.

Kalau perlu, cukup hanya pihak-pihak yang wajib hadir saja yang hadir di pengadilan secara langsung. Dan persidangannya tetap terbuka untuk umum dengan memperbolehkan memvideokan atau mempublish.

“Dengan begitu, persidangan perkara pidana tetap harus dilakukan di pengadilan secara langsung, dengan tetap melaksanakan protokol kesehatan. Itu salah satu saran solusi,” jelasnya.

Junimart Girsang berkeyakinan, jika tetap melaksanakan persidangan perkara pidana secara virtual, maka hakekat untuk mencapai keadilan tidak akan tercapai.

“Ya enggak akan tercapai penggalian kebenaran materiil kalau persidangan perkara pidana dilakukan secara virtual,” ujarnya.

Misalnya, kalau terdakwanya bersidang dari ruang tahanan, terus Jaksa dan Hakim di tempat lain. Hanya dihubungkan dengan video. Itu tidak ada rasa keadilannya.

Berbeda sekali jika terdakwa duduk di depan Majelis Hakim, dengan persidangan langsung, itu pasti beda rasanya dan beda upaya pembuktiannya.

“Emangnya bisa dipastikan kalau terdakwa misalnya sidang virtual dari ruang tahanan enggak bohong? Saya sudah ratusan kali dulu mengikuti persidangan perkara pidana, jika terdakwanya langsung dihadirkan ke muka persidangan, itu ketahuan dia bohong. Bisa digali. Nah, kalau virtual kan enggak bisa,” lanjutnya.

Kemudian, lanjut Junimart Girsang, Hakim memutus perkara itu juga berdasarkan keyakinan Hakim.

“Bagaimana kita mengetahui keyakinan itu secara virtual? Rasanya saja sudah beda. Memang harus disaksikan dan dilihat langsung, diraba langsung dan dibuktikan langsung, maka keyakinan Hakim itu bisa terjadi,” imbuhnya.

Junimart Girsang juga mengingatkan, sebaiknya, tidak perlu semua tersangka kasus pidana itu dilakukan penahanan. Sebab, hal itu justru akan menimbulkan adanya klaster baru penyebaran Covid-19 di tahanan.

“Lah, siapa juga yang meminta terdakwa harus ditahan? Kan enggak semua tersangka atau terdakwa dalam perkara-perkara pidana itu harus ditahan. Saya juga pernah usulkan, sebaiknya jangan penahanan yang diutamakan. Kan banyak mekanisme lainnya yang bisa dilakukan untuk memastikan terdakwa tidak berulah,” jelasnya.

Misalnya, alasan akan mengulangi perbuatan yang sama atau menghilangkan barang bukti, itu kan harus bisa diatasi, sehingga tidak perlu harus ditahan.

Sebab, barang bukti misalnya, kan itu disita dan diamankan penyidik. Kemudian, si terdakwa misalnya, kan bisa wajib lapor setiap dua kali seminggu, untuk memastikan dia tidak melakukan perbuatan yang sama. “Ada banyak caralah,” lanjutnya.

Jadi, katanya, jangan dijadikan mengenai masa penahanan itu yang membuat persidangan perkara pidana virtual diperbolehkan. Enggak akan ketemu kebenaran materiilnya nanti.

“Malah, kalau semua ditahan, ya sangat potensial menjadi klaster baru penyebaran Covid-19 loh di tahanan itu,” tuturnya.

Jadi, sekali lagi, ditekankan Junimart Girsang, persidangan perkara pidana itu adalah soal menggali kebenaran materiil. Dan soal penegakan Undang-Undang, KUHAP.

“Jangan dong karena alasan Covid-19 kok jadi disepelekan upaya menggali kebenaran materiil. Jadi, persidangan perkara pidana secara virtual itu melanggar hukum,” tandas Junimart Girsang.(RGR)