Sidang lanjutan terhadap kasus penembakan peserta aksi massa yang menyebabkan mahasiswa Haluoleo Kendari bernama Randy tewas kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), pada Kamis (01/10/2020).
Randy, mahasiswa Universitas Haluoleo itu ditembak anggota Polisi Brigadir AM, saat mahasiswa menggelar unjuk rasa menolak Rancangan Undang-Undang Kontroversial (RUU Kontroversial) di depan Kantor DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara.
Pada sidang ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang terdiri dari Jaksa Maarifa dan Jaksa Anita menghadirkan Saksi Ahli bidang video forensik yakni Taufan Eka Saputra.
Di persidangan, JPU Maarifa menanyakan terkait barang bukti yang dimiliki dan diperiksa oleh Saksi Ahli. “Dalam keterangan Saudara Ahli, ada tidak bukti yang saudara periksa?” tanya Jaksa Maarifa.
“Ya benar, berupa satu buah flash disk warna kuning,” jawab Saksi Ahli Taufan.
JPU Maarifa kembali menanyakan, “Apakah rekaman video itu asli menurut pengetahuan saudara? Dan metode apa yang digunakan untuk membuktikannya?”
“Ya asli, kita mengetahuinya menggunakan metode analisa frame,” jawaban Taufan.
“Rangkaian apa yang terjadi?,” timpal Hakim Ketua.
“Ditampilkan beberapa orang berlari,” jawab Taufan.
“Dalam keterangan saudara, tampak seseorang mengancungkan benda yang diduga adalah senjata api?” tanya JPU Maarifa.
“Ya, benar,” jawab Saksi Ahli Taufan.
Sidang akan kembali digelar pada Kamis (08/10/2020), dengan agenda, menghadirkan saksi yang meringankan atau a de charge oleh Penasehat Hukum Terdakwa, Nasruddin.
Sebelumnya, pihak Kepolisian masih terus mendalami proses penembakan terhadap mahasiswa Universitas Haluoleo (UHO) yang tewas pada saat unjuk rasa besar-besaran menolak Pembahasan Rancangan Undang-Undang Kontroversial (RUU Kontroversi) di Kota Kendari pada Kamis, 26 September 2019 silam.
Selain Randy, ada Muhammad Yusuf Kardawi, yang juga seorang mahasiswa yang menjadi korban tewas yang diduga ditembak pada saat aksi unjuk rasa itu.
Pihak keluarga Yusuf meminta agar penembakan terhadap anaknya dibongkar tuntas dan diberikan keadilan.
Proses penyidikan kasus ini dilakukan oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara (Polda Sultra).
Kepada Divisi Hubungan Masyarakat Polda Sulawesi Tenggara (Kadiv Humas Polda Sultra) Kombes Pol Ferry Walintukan menyatakan, sejak tahun 2019 lalu hingga kini, proses penyidikan kasus penembakan yang menyebabkan Yusuf meninggal dunia, terkendala.
Alasannya, jenasah Yusuf tidak divisum. Dan juga juga tidak adanya saksi atau kamera CCTV yang merekam pelaku penembakannya.
“Kasus Yusuf terkendala karena almarhum tidak divisum. Dan dari saksi atau kamera CCTV belum ada yang mengarahkan siapa pelaku penembakan untuk almarhum. Saat ini masih terus dalam penyidikan di Direktorat Reserse Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda Sultra,” ungkap Kombes Pol Ferry Walintukan kepada wartawan.
Menurut Kombes Pol Ferry Walintukan, pihak Keluarga Yusuf memang meminta pihak kepolisian untuk tidak mem-visum almarhum Yusuf.
“Hasil konfirmasi dari Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Sultra, bahwa pihak keluarga almarhum meminta agar jasad korban tidak divisum,” katanya.
Ferry juga mengatakan, ditemukan batu kena bercak darah pada permukaannya di sekitar jasad korban. Setelah diteliti di laboratorium, lanjutnya, rupanya darah tersebut adalah darah almarhum Yusuf.
“Dari hasil laboratorium, darah yang ada pada batu adalah darah almarhum. Pertanyaannya adalah apakah penyebab kematian karena batu atau hal lain? Tentu tidak bisa dijelaskan tanpa hasil visum,” lanjut Ferry.
Ibunda dari Almarhum Yusuf, Endang mengeluhkan proses pengusutan penembakan yang dialami putranya pada saat aksi unjuk rasa itu.
Menurut Endang, Negara lalai, dan tak kunjung mengusut tuntas pembunuhan yang diduga dilakukan oknum aparat, pada peristiwa yang terjadi pada Kamis, 26 September 2019 di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) itu.
Endang, Ibu Yusuf, menyampaikan anaknya tewas bukan karena dianiaya, tetapi karena ditembak.
“Saya yakin anak saya ditembak. Karena saya tahu, anak saya Yusuf adalah anak yang kuat. Tidak mungkin dianiaya tanpa melawan,” ungkap Endang.
Untuk mengusut kematian Yusuf, Endang dan keluarganya juga sudah berkali-kali mendatangi Polda Sultra, menayakan perihal kematian Yusuf.
Endang mengatakan, sejak pertama proses kematian putranya, dia sudah meminta pihak berwajib untuk mengusut tuntas kematian Yusuf.
“Sudah 3 kali kami menemui Bapak Kapolda Sultra, namun sampai saat ini belum ada titik terang dalam kasus ini. Saya terus meminta kepada pihak berwajib agar mengusut tuntas kasus ini. Kami orangtuanya selalu berupaya agar Yusuf mendapat keadilan. Namun Bapak Kapolda Sultra menjawab bahwa kasus ini masih dalam proses. Serta tidak mudah bagi mereka untuk menetapkan tersangka. Alasannya tidak ada bukti, dan kurangnya saksi dari pihak mahasiswa yang melihat kejadian,” beber Endang.
Bahkan, lanjutnya, keluarga juga sudah berupaya meminta rekam medic, tapi pihak Rumah Sakit Bahteramas tidak memberikannya.
“Ibu sudah berupaya untuk mengetahui kematian Yusuf lewat rekam medic di Rumah Sakit Bahteramas. Tapi pihak Rumah Sakit tidak memberikan, alasan mereka mau memberikan hasil rekam medic itu hanya untuk keperluan penyidikan. Lagi-lagi Ibu harus kecewa dan harus sabar,” jelasnya.
Hingga kini, lanjut Endang, pihak Rumah Sakit maupun Kepolisian belum menjelaskan penyebab kematian Yusuf.
“Bagi mereka, anak kami belum terbukti serta belum ada kejelasan apakah Yusuf tertembak atau kena benda tumpul atau dianiaya. Belum ada kejelasan dari pihak mereka,” ujarnya.
Endang mengeluhkan kinerja Negara. Menurutnya, kesannya Negara tidak bertanggung jawab atas kematian anaknya.
“Harusnya negara bertanggung jawab atas kematian anak kami. Dengan memberikan keadilan buat Yusuf dan memastikan masa depan adik-adik Yusuf. Setidaknya menjamin pendidikan adik-adiknya sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap kematian Yusuf, yang mati karena bersuara untuk kepentingan rakyat,” pungkas Endang.
Perkara ini sudah mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Sidang perdana telah digelar Kamis (06/08/2020).
Sidang perkara pidana ini dipindahkan dari PN Kendari ke PN Jaksel, sesuai dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No 75/KMA/SK/III/2020 tanggal 18 Maret 2020 tentang Penunjukan PN Jaksel untuk memeriksa dan memutus perkara pidana atas nama Abdul Malik.
Kepala Seksi Intel Kejaksaan Negeri Tinggi Sulawesi Tenggara, Ari Siregar menyampaikan, persidangan dilakukan di PN Jaksel untuk memeriksa terdakwa Brigadir AM.
“ Iya, berkasnya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk memeriksa dan memutuskan perkara pidana Brigadir AM,” ujar Ari Siregar.
Sidang dilakukan secara virtual. Dengan menghadirkan para terdakwa dan saksi di tempat yang berbeda.
Di PN Jakarta Selatan, dua orang Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Kota Kendari hadir untuk membacakan dakwaan. Kedua JPU itu adalah Romadu Novelino Simanjuntak dan Ma’arifa.
Dalam pembacaan dakwaan, diketahui terdakwa Brigadir AM menembakkan senjata dengan kaliber 9 mm sebanyak dua kali.
Dalam pembacaan dakwaan, JPU Romadu Novelino mengatakan, terungkap kondisi fisik mahasiswa bernama Randy, yang tewas pada saat unjuk rasa penolakan RUU Kontroversial di Kota Kendari itu.
“Didapatkan luka akibat kekerasan benda tumpul. Berupa luka lecet pada wajah, bahu kanan dan lengan atas kiri. Diduga akibat senjata api. Berupa luka tembak. Masuk dari jalur antara tegak lurus pada dada kiri,” ungkap JPU Romadu Novelino.
Luka tembak itu, diungkapkan berdasarkan hasil visum et repertum dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Kendari Nomor 371/3420 tanggal 28 September 2019. Yang mana telah dilakukan pemeriksaan terhadap Randi, mahasiswa Universitas Halu Oleo Kendari berusia 23 tahun, berjenis kelamin laki-laki.
Sedangkan untuk Yusuf, belum diketahui penembak dan sebab musabab kematiannya. Sidang kedua digelar pada Kamis, 13 Agustus 2020, dengan agenda pembuktian dan pemeriksaan saksi.
Sedangkan, jadwal sidang ketiga akan digelar pada Kamis, 03 September 2020 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Dengan agenda sidang meminta penjelasan dari Saksi Ahli Balistik. Pada persidangan ini JPU diminta mengungkap para pelaku.(RGR)