PTUN Jakarta Putuskan Jaksa Agung Bersalah, Kasus Pelanggaran HAM Berat Harus Dituntaskan

Uncategorized52 Dilihat

Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN Jakarta) memutuskan, Jaksa Agung Republik Indonesia Dr Sanitiar Burhanuddin bersalah karena menganggap Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II bukan sebagai peristiwa yang menyebabkan terjadinya Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat.

Karena itu, Majelis Hakim PTUN Jakarta yang diketuai Dr Andi Muhammad Ali Rahman, bersama Wakilnya Dr Umar Dani, dan Syaafat telah memutus Jaksa Agung Republik Indonesia Dr Sanitiar Burhanuddin melanggar hukum. Karenanya, PUTN Jakarta juga meminta Jaksa Agung untuk melanjutkan penyidikan kasus pelanggaran HAM berat Semanggi I dan Semanggi II, dan segera menyidangkannya.

Kejaksaan Agung didesak untuk kembali melanjutkan dan membuka penyidikan kasus pelanggaran HAM berat Semanggi.

Desakan itu menguat usai Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) memutuskan Jaksa Agung ST Burhanuddin melakukan perbuatan melawan hukum terkait pernyataannya bahwa tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat.

Ketua Divisi Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M Isnur mengatakan, Kejaksaan harus menerima putusan tersebut dan serius menindaklanjuti hasil penyelidikan dari Komnas HAM. Berkas dari Komnas HAM terakhir kali diserahkan ke Kejaksaan pada 2018.

Dia menerangkan, terlihat tampak bahwa problem pelanggaran HAM berat ini bukan problem kemampuan, bukan soal unable, bukan soal kapasitas atau kapabilitas untuk mengungkapkan. Itu sebenarnya bisa dilakukan dengan mudah, dengan cepat. Tetapi problem-nya adalah soal unwilling.

“Jadi ini soal kehendak, soal kemauan yang tidak tampak dari pemerintah,” ujar Isnur, Rabu (04/11/2020).

Isnur menambahkan, tindakan Jaksa Agung yang dinyatakan melanggar hukum ini merupakan contoh yang tidak baik. Ia meminta Presiden Joko Widodo turun tangan menegur Jaksa Agung.

Jaksa Agung juga didesak segera menyampaikan perkembangan penyidikan kasus Semanggi I dan II di hadapan DPR.

Dengan adanya putusan ini, kata Isnur, Kejaksaan harus menegaskan kemauannya untuk menuntaskan dengan membawanya ke pengadilan.

Sebelumnya pada rapat kerja di DPR 16 Januari 2020, Jaksa Agung ST Burhanuddin menyatakan bahwa insiden Semanggi I dan II bukan merupakan sebagai pelanggaran HAM berat, sehingga Komnas HAM seharusnya tidak menindaklanjuti kasus tersebut.

Keluarga korban kemudian mengajukan gugatan ke PTUN dan dinyatakan bahwa Jaksa Agung melanggar hukum atas ucapannya.

Sebagai latar belakang, Jaksa Agung Republik Indonesia Dr Sanitiar Burhanuddin dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum, dalam proses pengusutan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pada Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II.

Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN Jakarta) mengabulkan Permohonan Penggugat Korban Tragedi Semanggi I dan Semanggi II, yang menggugat Jaksa Agung Republik Indonesia Dr ST Burhanuddin. Putusan tersebut tertuang dalam Putusan Nomor 99/G/TF/2020/PTUN.JKT tertanggal 04 November 2020.

Informasi ini diambil dari web Direktori Putusan Mahkamah Agung Indonesia. Adapun hasil putusannya, adalah sebagai berikut, satu, mengabulkan gugatan para Penggugat seluruhnya.

Dua, menyatakan Tindakan Pemerintah berupa Penyampaian Tergugat dalam Rapat Kerja antara Komisi III DPR RI dan Jaksa Agung RI pada tanggal 16 Januari 2020 yang menyampaikan “…Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II yang sudah ada hasil rapat paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat, seharusnya Komnas HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan untuk dibentuknya Pengadilan ad hoc berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada Presiden untuk menerbitkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM” adalah perbuatan melawan hukum oleh Badan dan/atau pejabat pemerintahan.

Tiga, mewajibkan Tergugat untuk membuat pernyataan terkait penanganan dugaan Pelanggaran HAM berat Semanggi I dan Semanggi II sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI berikutnya, sepanjang belum ada putusan/keputusan yang menyatakan sebaliknya.

Empat, menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp.285.000,- (dua ratus delapan puluh lima ribu rupiah).(RGR/JTM)