Kejaksaan Agung mempersalahkan Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN Jakarta) karena memutus Jaksa Agung Republik Indonesia Dr Sanitiar Burhanuddin atas upaya menghentikan pengusutan tuntas kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat pada peristiwa Semanggi I dan Semanggi II.
Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung (Jamdatun), Feri Wibisono menegaskan, Kejaksaan Agung akan melakukan upaya banding atas putusan Majelis Hakim PTUN Jakarta itu.
“Putusan itu tidak benar dan tidak berdasar. Kami harus melakukan banding atas suatu putusan yang tidak benar, yang tidak berdasar kepada hukum acara yang seharusnya dilaksanakan,” tutur Feri Wibisono, saat menggelar jumpa pers, di Komplek Kejaksaan Agung, Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (05/11/2020).
Feri menilai, Majelis Hakim PTUN Jakarta yang memutus Jaksa Agung Republik Indonesia Dr Sanitiar Burhanuddin bersalah itu, tidak bisa dibenarkan.
Dikarenakan, putusan itu banyak mengabaikan bukti yang disampaikan Kejaksaan Agung selaku tergugat.
Mulai dari bukti video terkait pernyataan Jaksa Agung saat rapat dengar pendapat (RDP) di DPR pada 16 Januari 2020, hingga keterangan saksi dan ahli yang dihadirkan.
“Padahal, seharusnya untuk kelengkapan dan kejelasan tentang fakta, hakim berkewajiban menilai bukti-bukti ini. Jadi kami memandang bahwa banyak sekali kelalaian hakim di sini dalam proses kewajibannya memeriksa dan mengadili perkara ini,” jelasnya.
PTUN Jakarta sebelumnya resmi memutus bersalah Jaksa Agung ST Burhanuddin terkait pernyataannya yang menyebut Tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat.
Pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin soal tragedi Semanggi itu disampaikan saat rapat kerja dengan Komisi III DPR RI pada 16 Januari 2020 lalu.
Selain memvonis bersalah Jaksa Agung, PTUN juga memerintahkan agar orang nomor satu di Korps Adhyaksa itu membuat pernyataan terkait penanganan dugaan pelanggaran HAM berat Semanggi I dan Semanggi II sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Hal itu mesti dilakukan lagi di dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI berikutnya. Dan, sepanjang belum ada putusan atau keputusan yang menyatakan sebaliknya.
Putusan itu ditampilkan PTUN Jakarta dalam sistem e-court dengan nomor perkara 99/G/TF/2020/PTUN.JKT pada Rabu (4/11/2020) pagi.
Penggugatnya adalah Maria Catarina Sumarsih seorang ibu dari Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan), mahasiswa Universitas Atma Jaya, dan Ho Kim Ngo, ibu almarhum Yap Yun Hap, mahasiswa Universitas Indonesia yang tewas saat Tragedi Semanggi I Tahun 1998.
“Amar putusan, eksepsi: menyatakan eksepsi-eksepsi yang disampaikan tergugat tidak diterima, pokok perkara: mengabulkan gugatan para penggugat seluruhnya,” demikian penggalan dari amar putusan tersebut.
Putusan ini ditandatangani oleh Hakim Ketua Andi Muh Ali Rahman dan Umar Dani sebagai Hakim Anggota.
PTUN mengabulkan gugatan Sumarsih dan menyatakan bahwa pernyataan Burhanuddin dalam rapat tersebut adalah perbuatan melawan hukum oleh pejabat pemerintahan.
Bunyi putusannya, “Menyatakan Tindakan Pemerintah yang dilakukan TERGUGAT berupa Penyampaian dalam Rapat Kerja antara Komisi III DPR RI dengan Jaksa Agung pada tanggal 16 Januari 2020, yang menyampaikan: “Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II yang sudah ada hasil rapat paripurna tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat, seharusnya KOMNAS HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan untuk dibentuknya Pengadilan ad hoc berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada Presiden untuk menerbitkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM adalah Perbuatan Melawan Hukum Oleh Badan Dan/Atau Pejabat Pemerintahan”.
Terakhir, PTUN menghukum Jaksa Agung untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp285 ribu.(RGR)