Lanjutkan Pengusutan Kasus-Kasus Pelanggaran HAM Berat, Politisi Banteng Trimedya Panjaitan Ajak Kejaksaan Agung, Komnas HAM, dan Komisi III DPR Duduk Bersama

Uncategorized84 Dilihat

Politisi PDIP Trimedya Panjaitan mengusulkan agar Kejaksaan Agung, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Kemenkopolhukam, duduk bersama Komisi III DPR, untuk menindaklanjuti pengusutan kasus-kasus pelanggaran HAM berat seperti Tragedi Semanggi I dan Semanggi II.

Anggota Komisi III DPR Trimedya Panjaitan menyebut, Putusan PTUN Jakarta yang mengabulkan Permohonan Penggugat Korban Tragedi Semanggi I dan Semanggi II yang menggugat Jaksa Agung Republik Indonesia Dr ST Burhanuddin, yang tertuang pada Putusan Nomor 99/G/TF/2020/PTUN.JKT tertanggal 04 November 2020 itu, jangan dibahas secara parsial.

“Nah itu harus duduk bareng lagi. Ini kan persoalan Semanggi itu, kan tidak sesederhana yang kita pikirkan. Karena, jujur aja, DPR juga sejak selesai Pansus itu kan sudah tidak gencar lagi mengawalnya. Ini harusnya kan kita mengusulkan, Komisi III DPR yang harus mengajak duduk bareng, rapat bareng Komnas HAM dan Kejaksaan Agung,” tutur Trimedya Panjaitan, di Jakarta, Selasa (11/10/2020).

Jika tidak duduk bersama, menurut Trimedya, persoalan tidak akan selesai. Malah akan terjadi saling serang antara Kejaksaan dengan Komnas HAM.

“Komnas HAM bilang seperti ini, Jaksa Agungnya bilang seperti ini. Kan itu yang harus dibicarakan dan duduk bareng. Untuk itu, nanti saya juga akan anjurkan, supaya Komisi III menjadi leader dalam penanganan perselisihan ini,” ujarnya.

Menurutnya, upaya saling lempar tanggung jawab hanya akan memperkeruh persoalan.

“Kalau Komnas HAM bilang sudah cukup buktinya, sementara Kejaksaan Agung bilang belum. Karena itu harus duduk bareng,” jelasnya.

Bukan hanya kasus pelanggaran HAM Semanggi I dan Semanggi II, menurut Trimedya, kasus 27 Juli, kasus Tanjung Priok, Kasus Trisakti itu utang perkara negara ini.

“Sampai kapan pun anak cucu kita akan ditagih terus ini,” sebutnya.

Makanya, dia menyarankan, di era periode Kedua Presiden Jokowi ini, persoalan-persoalan itu harus dibantu untuk dituntaskan.

“Walaupun kita sudah tidak ada lagi Undang-Undang Rekonsiliasi, terus seperti apa solusinya. Keluarga korban kan yang tiap hari Reboan di depan Istana itu kan pasti butuh ruanglah bagi mereka ada rasa keadilan. Tidak semata-mata pelakunya dihukum, tetapi apakah perlu diberikan kompensasi kepada mereka, atau apa,” tuturnya.

Trimedya menyebut, apalagi Presiden Jokowi sebagai ‘anak kandung’ daripada Reformasi, maka penuntasan agenda reformasi mesti dilakukan.

“Kalau enggak ada Reformasi gue juga belum tentu bisa jadi anggpota DPR. Nah, kita harus sama-sama. Kita semua elemen bangsa ini yang anak kandung reformasi ini harus sama-sama mendorong ini. Enggak semata-mata hanya proses hukumnya,” jelasnya.

Selama ini, menurutnya lagi, persoalan saksi-saksi dan alat-alat bukti menjadi persoalan yang membuat pengusutan kasus-kasus pelanggaran HAM berat terkendala.

“Ini yang sering kendala, terutama alat-alat buktinya, dan saksi-saksi yang melihat dan mengetahui peristiwanya. Makanya harus duduk bareng lagi,” ujarnya.

Oleh karena itu, lanjutnya, di periode kedua Presiden Jokowi ini, penyelesaian persoalan kasus-kasus pelanggaran HAM berat harusnya menjadi sebuah legacy. Apa solusinya.

“Tidak semata-mata hanya proses hukumnya. Karena keluarga korban juga, tuntutannya tidak semata-mata hanya proses hukum. Mesti ada pengakuan,” imbuhnya.

Trimedya mengatakan, Komisi III DPR akan kembali mengagendakan pembahasan persoalan pelanggaran HAM berat itu.

“Nanti kalau di rapat internal, akan saya sampaikan rencana duduk bareng itu. Supaya Pimpinan Komisi III DPR, Pak Herman Hery untuk mengagendakan itu,” tandas Trimedya Panjaitan.(RGR)