Harus Diulang, Persidangan Pengadilan Dengan Hakim Tunggal Melanggar Undang-Undang dan KUHAP

Uncategorized81 Dilihat

Persidangan yang dipimpin oleh Hakim Tunggal kian marak belakangan ini di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.

Praktisi Hukum, Sandi Ebenezer Situngkir menilai, proses persidangan yang dipimpin oleh hakim tunggal harus batal demi hukum.

Ia mengungkapkan, pada dasarnya, jumlah hakim yang ber-acara pada saat persidangan itu disesuaikan dengan pengadilan tempat beracara. Hal itu telah diatur dalam Pasal 11 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

“Jumlah hakim yang ditentukan oleh Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman itu adalah sekurang-sekurang 3 orang hakim. Kecuali Undang-Undang menentukan lain. Contoh undang-undang menentukan lain di sini adalah jumlah hakim dalam pengadilan anak,” ungkap Sandi Ebenezer Situngkir, di Jakarta, Jumat (13/11/2020).

Lebih lanjut, Ketua Umum Advokat Indonesia Maju ini, hakim tunggal dalam melakukan pemeriksaan suatu perkara harus diberikan sanksi oleh Mahkamah Agung (MA), dan putusannya harus batal demi hukum.

Persidangan yang dipimpin oleh hakim tunggal, lanjutnya, cacat hukum dan harus di batalkan demi hukum. Hal tersebut juga karena tidak sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

“Karena dalam KUHAP telah mengatur jumlah hakim dan itu harus di patuhi. Karena hakim dalam persidangan hakim harus memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara,” ujarnya.

Selain itu, proses persidangan tersebut juga harus diulang dari awal. Karena proses persidangan yang mempunyai kecacatan akan merugikan kepentingan umum.

“Karena setiap Putusan Pengadilan, Majelis Hakim itu menjadi yurisprudensi. Nah, dapat merugikan masyarakat umum,” katanya.

Sandi Ebenezer Situngkir menegaskan, hal tersebut tidak boleh melebihi kewenangan Undang-undang yang telah ada. Majelis hakim harus tetap mengacu kepada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

“Walaupun ada musyawarah antara pihak-pihak, tapi tidak bisa melebihi Undang-undang. Karena Undang-Undang lebih tinggi dari pada musyawarah,” pungkas Sandi Ebenezer Situngkir.

Sementara itu, Wakil Kepala Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Heru Hanindyo mengatakan, sidang yang dipimpin oleh hakim tunggal tersebut merupakan kesepakatan dari para pihak-pihak.

“Karena kondisi, juga kemauan para pihak-nya dan sudah dibahas dengan majelisnya,” ujar Heru.

Heru menambahkan, belakangan ini, jumlah perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat meningkat. Sehingga membuat hakim harus membagi tugas dalam memeriksa perkara.

“Akhir-akhir ini perkara meningkat di pengadilan kasusnya. Jadi majelis sering terbagi-bagi dan jika tunggu kumpul lagi bisa sore banget bahkan malam. Nah pihak-pihakya juga yang punya perkara mau untuk sidang yang ada. Memang kita serba dilema, tapi pelayanan tetap terdepan dan musyawarah tetap berjalan,” pungkas Heru.(RGR)