Tinta Merah Untuk Jokowi, Sebuah Refleksi Terhadap Pemerintahan Joko Widodo

Uncategorized112 Dilihat

Pada 20 Oktober 2014 adalah titik awal kepemimpinan Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia. Dalam pelantikannya Jokowi berpidato dengan isi berbagai macam janji yang tidak bisa diwujudkannya.

Hal itu disampaikan Regen Agustian Hontong, Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Theologi (STFT) Jakarta, dalam catatannya mengenai Kepemimpinan Jokowi, bertajuk ‘Tinta Merah Untuk Jokowi, Sebuah Refleksi Terhadap Kepemimpinan Joko Widodo’, yang diterima redaksi, Selasa (22/12/2020).

Regen Agustian Hontong yang merupakan Ketua Bidang Organisasi, Pendidikan Kader dan Kerohanian Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Cabang Jakarta (Kabid OKK GMKI Jakarta) ini menyebut, Joko Widodo berpidato tentang sebuah visi yang ingin dicapai dalam kepemimpinannya. Yaitu Indonesia yang berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Jokowi juga mengatakan, kepemimpinannya akan memastikan semua masyarakat di berbagai pelosok merasakan kehadiran pelayanan pemerintah. Dan mengajak seluruh lembaga negara untuk memiliki semangat yang sama dalam menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing.

Selain itu, dalam pidatonya Jokowi juga mengatakan ingin mengembalikan kedaulatan Indonesia sebagai negara maritim. Karena menurut Jokowi dalam pidatonya itu, laut dan tanjung adalah masa depan bangsa. Tak lupa Jokowi juga menyampaikan bahwa dalam pemerintahannya, Indonesia akan terus memainkan politik netral dan aktif dengan sebebas-bebasnya.

Pidatonya kembali terulang ketika Jokowi kembali dilantik sebagai Presiden Indonesia pada tahun 2019.

Ini merupakan periode kedua dari Jokowi menjabat sebagai Presiden. Pada pidatonya kali ini, Joko Widodo menyebut, para menterinya bertugas dan bertanggung jawab tidak hanya untuk membuat kebijakan, namun juga memastikan masyarakat merasakan kehadiran pelayanan pemerintah.

Tak lupa, mantan Walikota Solo ini menekankan, prioritas utama pemerintahannya adalah membangun Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia, dengan cara baru yang lebih relevan.

Selanjutnya, Jokowi menjanjikan, akan ada dua Undang-Undang besar yang akan disahkan, yaitu Undang-Undang Cipta Kerja dan Undang-Undang Pengembangan Usaha Mikro Kecil Menengah (UU UMKM), yang disebutnya sebagai bagian dari Omnibus Law.

“Menurut mantan Gubernur DKI Jakarta itu, langkah itu dalam upaya membawa Indonesia akan semakin maju, dan mampu bersaing di pentas global,” tutur Regen Agustian Hontong.

Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo bersama Wakil Presiden Ma’aruf Amin, mengingatkan Kabinetnya, seluruh jajaran birokrat, dan lembaga pemerintahan lainnya untuk serius bekerja untuk mencapai tujuan pembangunan. Apabila ada yang tidak serius, maka Jokowi tidak akan memberi ampun, dan dipastikan akan dicopot dari jabatannya.

“Berkaca dari Pidato Joko Widodo pada tahun 2014 dan 2019 itu, kita seakan mendapatkan harapan baru. Sebuah harapan bahwa bangsa ini akan lebih maju. Dengan masyarakat akan lebih merasakan kesejahteraan,” lanjutnya.

Nampaknya harapan itu mulai muncul, mengingat Jokowi digambarkan sebagai sosok yang sangat sederhana dan merakyat. Tentu, harapannya, semua kepentingan rakyat akan menjadi yang utama.

“Namun bagi saya sendiri, pidato yang disampaikan oleh Jokowi hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Dalam kedua pidatonya, saya tidak menemukan narasi yang menyatakan bahwa Jokowi menempatkan persoalan kemanusian menjadi yang utama,” imbuh Regen.

Jelas saja, sejak tahun 2014 sampai 2020 kasus pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) selalu terjadi, dan tidak pernah terselesaikan.

Seperti, kasus pelanggaran HAM berat dalam tragedi di Paniai, Papua pada tanggal 7-8 Desember 2014. Dalam peristiwa itu, 4 orang warga tewas dan 21 lainnya terluka.

Dilansir dari portal berita BBC News, Komnas HAM menduga, pihak yang bertanggungjawab atas peristiwa ini adalah TNI. Kasus ini sampai sekarang masih belum menemukan kejelasan.

Kemudian pada tahun 2015, terjadi kasus pelanggaran HAM dengan terbunuhnya Salim Kancil, seorang aktivis petani. Salim Kancil  mati karena menyuarakan penolakan terhadap tambang pasir illegal di kampungnya, di Desa Selok Awar-awar, Pasuruan, Lumajang, Jawa Timur.

Dilansir dari portal berita Kompas.com pada tanggal 14 Februari 2017, disebutkan, sepanjang tahun 2016 terdapat 35 kasus pelanggaran HAM di perkotaan dan masyarakat urban.

Kemudian, portal berita Okenews tanggal 10 Desember 2017, memberitakan bahwa tahun 2017 terjadi 118 kasus pelanggaran HAM di Sumatera Utara.

Catatan Kelam Pelanggaran HAM juga dikeluarkan oleh pihak Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) tanggal 10 Desember 2018.

Dalam catatan KontraS, sepanjang Januari hingga Oktober 2017, sudah terjadi 194 kasus pelanggaran HAM di sektor Sumber Daya Alam (SDA). Kemudian, kasus tertinggi kedua adalah kasus pembunuhan di luar proses hukum atau extrajudicial killing, yang terjadi sebanyak 182 kasus.

Pada tanggal 9 Januari 2020, portal berita DetikNews memberitakan, Komnas HAM menemukan dugaan pelanggaran HAM dalam penanganan aksi demonstrasi pada September 2019.

Dugaan itu didasari oleh munculnya korban jiwa dalam peristiwa tersebut. Ada sebanyak 5 orang yang meninggal dalam peristiwa tersebut.

“Kemudian, pada tahun 2020 kita menemukan dan menyaksikan sendiri berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Negara kita. Seperti penembakan seorang Pendeta di Kabupaten Intan Jaya, Papua. Yang sampaikan sekarang belum menemukan kejelasan pengusutan kasus itu,” bebernya.

Selanjutnya, Regen menyebut, terjadinya peristiwa penembakan 6 orang laskar Front Pembela Islam (FPI) di Tol Cikampek, yang sampai sekarang juga tidak diketahui kejelasannya.

Dalam kurun waktu 7 Tahun kepemimpinan Joko Widodo, begitu banyak dan terus meningkat kasus pelanggaran HAM dan tidak pernah menemukan titik kejelasan dalam setiap kasus tersebut.

“Ini baru merupakan catatan pelanggaran HAM. Mari kita bergeser pada kasus Korupsi,” ujarnya.

Korupsi merupakan musuh bersama yang harus diperangi dan hilangkan dari Indonesia. Korupsi merupakan satu tindakan yang tidak bisa kita benarkan dengan alasan tertentu.

Korupsi juga satu tindakan yang menjadikan kesejahteraan menjadi sangat jauh dari masyarakat. Korupsi adalah tindakan yang hanya menguntungkan sebagian kecil pihak yang tamak dan menyengsarakan sebagian besar masyarakat yang jujur.

Karena itu tindakan korupsi seharunya tidak dibiarkan terus terjadi kalau perlu orang yang melakukan tindakan ini harus dihukum seberat-beratnya.

Namun realitas yang ditemukan, lanjut Regen, dalam kurun waktu tahun 2014-2020, ada banyak sekali kasus korupsi yang terjadi dan melibatkan orang-orang yang ada di pemerintahan. Mulai dari Menteri, Kepala Daerah dan juga anggota legislatif.

“Mereka berlomba-lomba untuk menjadi yang paling kaya dengan cara yang keji. Yaitu melakukan tindakan korupsi,” ujar Regen.

Portal berita Tribunnews.com dalam beritanya pada tanggal 18 Juni 2019, menyebut, dalam kurun waktu tahun 2014-2019 ada 105 kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi dan pemerintah daerah.

Bahkan, pada tahun 2020 Indonesia kembali dihebohkan dengan kasus korupsi yang melibatkan beberapa jajaran menteri, yaitu kasus korupsi Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Edhy Prabowo, dan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara.

Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Edhy Prabowo ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena dugaan korupsi ekspor benih lobster.

Selanjutnya, kasus korupsi dari Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara. Juliari Peter Batubara ditangkap KPK karena melakukan tindak korupsi bantuan sosial (Bansos).

“Sungguh perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Di tengah situasi krisis karena pandemik Covid-19 yang mendorong kita untuk lebih bergotong royong dan mendorong pemerintah untuk mengutamakan kesejahteraan masyarakat, malah berbuat hal yang keji dengan korupsi,” tutur Regen.

Bahkan, kasus korupsi bansos ini menyeret satu nama yang sangat dekat dengan Joko Widodo, yaitu putranya sendiri yang bernama Gibran Rakabuming. Gibran menyangkal terlibat dalam kasus tersebut.

“Kita lihat saja, biarkan hukum yang berbicara. Apakah kepentingan keluarga akan menjadikan hukum kita tumpul atau kepentingan masyarakat akan menjadikan hukum kita menjadi tajam dan terarah dengan benar,” lanjutnya.

Sementara, pengesahan RUU Omnibus Law menjadi Undang-Undang juga menjadi peristiwa penting yang harus dijadikan Catatan Kelam Pemerintahan Joko Widodo-Maa’aruf Amin.

Peristiwa itu membuktikan, Pemerintahan Joko Widodo-Maa’aruf Amin tidak peduli terhadap kemanusiaan, adat, budaya, dan kondisi alam Indonesia yang mengalami kerusakan kian parah.

Ribuan bahkan jutaan demonstran, melakukan aksi unjuk rasa menolak UU Omnibus Law. Mulai dari kelompok buruh, mahasiswa, bahkan masyarakat biasa.

“Aksi-aksi unjuk rasa itu berisikan penolakan masyarakat terhadap Omnibus Law. Karena dalam Undang-Undang tersebut terdapat berbagai poin yang menindas masyarakat. Dan berpotensi merusak lingkungan dengan alasan investasi,” ujarnya.

Benar saja, setelah Undang-Undang Omnibus Law itu dipaksakan disahkan, bermunculan polemik baru berbagai daerah. Seperti di Pulau Komodo dan daerah Maluku.

Pada polemik yang terjadi di Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur (NTT), muncul karena rencana pemerintah untuk membangun sebuah proyek Jurassic Park.

Hal ini dinilai akan mengancam keberadaan salah satu jenis hewan yang paling langka di dunia dan sangat dilindungi di pulau tersebut, yaitu Komodo.

Selain itu, rencana pemerintah untuk membangun Lumbung Ikan Nasional (LIM) di laut Maluku juga mendapatkan penolakan. Karena dinilai akan mengancam ekosistem laut Maluku.

Semua rencana ini muncul karena kebijakan baru pemerintah yang mempermudah investasi dan mengesampingkan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal).

“Ini merupakan catatan kelam Pemerintahan Jokowi dalam sektor Sumber Daya Alam (SDA), dan masih banyak kasus pengrusakan lingkungan yang terjadi pada era Jokowi. Seperti kerusakan hutan adat di daerah Kalimantan, dan daerah-daerah lainnya,” tuturnya.

Selain kasus pelanggaran HAM, lanjut Regen, kasus korupsi yang begitu banyak, dan persoalan lingkungan selama era kepemimpinan Jokowi, juga dapat melihat satu hal yang begitu unik, yaitu Monarki Dalam Bungkus Demokrasi. Yang kemudian akan memunculkan politik Dinasti.

“Sepertinya masyarakat masih mengatakan bahwa sistem demokrasi adalah satu-satunya sistem yang kita anut dan terapkan dalam pesta politik bangsa. Apakah betul demikian? Saya merasa kita tidak menyadari satu hal yang sangat penting untuk dilihat. Apakah itu? Ada sistem monarki yang coba menyelipkan diri atau sengaja diselipkan dalam sistem demokrasi kita. Dan ada upaya untuk membangun sebuah dinasti,” tantangnya.

Bagaimana tidak, dalam pesta politik Pilkada Serentak yang digelar pada 09 Desember 2020 lalu, ada dua orang dekat Jokowi yang naik dan memenangkan pesta itu. Yaitu Gibran Rakabuming yang merupakan puteranya Jokowi, yang menjadi Walikota Solo. Dan Bobby Nasution yang merupakan menantunya Jokowi, menjadi Walikota Medan.

Sungguh bangga tentunya pak Jokowi melihat anak dan menantunya yang memenangkan pesta politik tersebut. Bagi sebagian orang hal ini bukan merupakan persoalan karena keduanya mengikuti prosedur dan mengikuti pemilihan yang dipilih langsung oleh rakyat.

Jadi, terpilihnya mereka, karena rakyat yang menginginkan. Ini menurut pendukung mereka.

“Bagi saya sendiri, kita harus menyadari bahwa Ayah dan mertua mereka berdua, yakni Joko Widodo adalah orang nomor satu di negara ini. Dia yang berkuasa jadi bisa saja dia mengatur berbagai realita. Baik itu realita politik dalam negara kita. Dia miliki semuanya untuk mengatur realita tersebut, mulai dari kekuasaan, media, pasukan tempur, sampai pada pasukan intelijen,” lanjutnya.

Hal ini yang perlu disadari, agar masyarakat mampu melihat bahwa ada upaya menyelipkan sistem monarki ke dalam sistem demokrasi yang dianut Indonesia. Yang pada akhirnya akan memunculkan Dinasti Kekuasaan.

“Mari kita telisik kembali janji-janji Jokowi dalam pidatonya ketika dilantik menjadi Presiden. Yaitu janji akan menerapkan Politik Netral dan Aktif dengan sebebas-bebasnya. Mungkin pada saat itu sedang dipersiapkan sebuah sistem yang saya sebut dengan judul Monarki dalam bungkusan Demokrasi untuk sebuah Dinasti Kekuasaan,” tuturnya.

Jadi, dari tempat penulis di Jalan Salemba Raya Nomor 49, menyaksikan bahwa dalam 7 tahun kepemimpinan Jokowi tidak membawa harapan baru bagi masyarakat.

Era kepemimpinan Jokowi sama saja dengan era Presiden sebelumnya, yang menempatkan persoalan kemanusian dalam tingkatan terendah. Sehingga sangat tampak ketidakseriusan dalam menyelesaikannya.

Eranya Jokowi ini juga menjadi era di mana korupsi masih terus menghantui dan menindas seluruh masyarakat kecil. Era di mana kebijakan publik tidak berpihak lagi kepada masyarakat. Era di mana kerusakan lingkungan terus terjadi.

Era di mana media cenderung memihak pada kepentingan segelintir orang tamak. Era di mana aparat bertindak seenaknya dengan menggunakan alasan dalam operasi. “Era di mana kita sudah merdeka tetapi kita tidak bebas,” sambungnya.

Akankah dalam sisa periode kepemimpinan Joko Widodo masyarakat akan menemukan kesejahteraan atau semakin mendapatkan sebuah penindasan?

“Saat ini, saya menilai kinerja dan era presiden ke-7 dan ke-8 Negara Kesatuan Republik Indonesia  Joko Widodo ini sangat layak diberi tinta merah. Tinta merah biarlah menjadi salah satu tanda bahwa Jokowi belum bisa memunculkan harapan baru bagi masyarakat. Jokowi belum bisa mendekatkan masyarakat dengan kesejahteraan. Sejauh ini, Jokowi tidak menepati janjinya. Masyarakat belum merasakan kehadiran pelayanan pemerintahan yang baik. Di era Jokowi ini, bayak sekali birokrat, bahkan menteri yang tamak dan rakus,” beber Regen lagi.

Dia berharap, catatan dan refleksi yang dilakukannya, kiranya menjadi salah satu pendorong, agar masyarakat menjadi pengawas bagi rezim Jokowi.

“Agar terus menjadi intelektual organik bagi pemerintah. Sehingga rezim yang dipilih rakyat ini sendiri harus bekerja untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat,” tandas Regen Agustian Hontong.***

Penulis:

Regen Agustian Hontong

Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Theologi (STFT) Jakarta.

Ketua Bidang Organisasi, Pendidikan Kader dan Kerohanian Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Cabang Jakarta (Kabid OKK GMKI Jakarta).