Presiden Jokowi Sering Keluarkan Instruksi, Para Menterinya Kok Tidak Patuh

Ekonomi156 Dilihat

Presiden Joko Widodo sering keluarkan instruksi agar dilakukan oleh para menteri dan staf-stafnya. Namun, dalam berbagai peristiwa, para menteri justru tidak patuh.

Karena itu, Presiden Joko Widodo diminta agar tidak lengah dengan semua menteri dan para stafnya. Sebab, meskipun dilakukan penunjukan atau reshuffle kabinet, tidak ada jaminan bahwa para menteri itu akan tunduk dan patuh pada Instruksi Presiden.

Hal itu disampaikan Praktisi Perburuhan Timboel Siregar menyikapi reshuffle kabinet yang dilakukan Presiden Joko Widodo.

Menurut Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Sekjen Opsi) ini, ketika Presiden melantik para pembantunya,  ada tujuh instruksi Presiden Joko Widodo yang disampaikan kepada para menteri yang baru dilantik tersebut.

“Instruksi ini pun disampaikan pada saat melantik para pembantunya lainnya,” tutur Timboel Siregar, dalam catatannya, yang diterima redaksi, Minggu (27/12/2020).

Ketujuh amanat tersebut adalah, pertama, jangan korupsi. Ciptakan sistem yang menutup celah terjadinya korupsi.

Dua, tidak ada visi dan misi menteri. Yang ada hanya Visi dan Misi Presiden dan Wakil Presiden.

Tiga, Kerja Cepat, Kerja Keras, Kerja Produktif.

Empat, jangan terjebak rutinitas yang monoton.

Lima, kerja berorientasi pada hasil nyata, tugas kita bukan hanya menjamin sent, namun delivered.

Enam, selalu check masalah di lapangan dan temukan solusinya.

Tujuh, semua harus serius dalam bekerja.

“Saya nilai amanat Pak Presiden sudah sangat baik dan harus dilakukan oleh seluruh pembatunya tanpa syarat,” ujar Timboel Siregar.

Namun, menurut Timboel Siregar yang juga Koordinator Advokasi BPJS Watch ini, di periode pertama pemerintahan Jokowi, dan dalam satu tahun periode kedua Pemerintahan Jokowi, amanat Presiden itu tidak implementatif di lapangan. 

Faktanya, satu, Menpora yang tertangkap dan diikuti dua menteri di periode keduanya. Belum ada upaya preventif agar para pembantunya tidak korupsi.

Kedua, visi misi Presiden untuk kesejahteraan rakyat. “Tapi faktanya di periode pertama beberapa obat dikeluarkan dari formularium nasional. Sehingga pasien JKN harus beli obat sendiri. Demikian juga ada manfaat JKN yang dihapus di Perpres No 82 Tahun 2018,” ungkap Timboel.

Lalu, lanjutnya, ada Inpres Nomor 8 Tahun 2017 agar seluruh pembantunya kerjasama untuk menangani defisit JKN.

“Tapi faktanya, di tahun 2018 dan 2019 JKN defisit lagi. Para pembantunya tidak kompak.  Contoh, PP Nomor 86 tahun 2013 tidak dilaksanakan oleh Kementerian dan Lembaga, karena ego sektoral dominan,” terang Timboel.

Faktanya lagi, imbuh Timboel, Presiden diam saja atas ketidakberhasilan Inpres Nomor 8 Tahun 2017 tersebut.

“Tidak ada evaluasi yang mumpuni. Sehingga perilaku para pembantunya yang tidak kompak terhadap JKN terjadi sampai sekarang,” ujarnya.

Instruksi Presiden agar para menterinya melakukan kerja cepat, kerja keras, kerja produktif, juga tidak terjadi.

Faktanya, PP Nomor 82 tahun 2019 tentang revisi PP Nomor 44 Tahun 2015 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan jaminan Kematian (JKm) yang mengamanatkan dibuatnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker), yang salah satunya mengatur manfaat beasiswa bagi anak pekerja yang meninggal, nyatanya hingga saat ini Permenaker tersebut belum juga selesai.

“Sehingga beasiswa belum bisa dibayarkan kepada anak-anak pekerja yang ortunya meninggal dunia,” tuturnya.

Ada sekitar 100 anak yang seharusnya sudah dapat beasiswa, tapi belum juga dapat. Karena Direksi BPJS Ketenagakerjaan belum berani membayarkan beasiswa itu sebelum adanya Permenaker yang diamanatkan PP Nomor 82 tahun 2019 tadi.

Timboel Siregar menjelaskan, manfaat beasiswa ini sebenarnya sangat dibutuhkan pada saat penerimaan masuk sekolah dan kuliah di masa pandemi ini.

Dalam kondisi daya beli masyarakat menurun dan pekerja peserta BPJS Ketenagakerjaan meninggal maka beasiswa menjadi penolong, tapi nyatanya Permenaker belum selesai juga.

“Pak Presiden membiarkan menterinya tidak kerja cepat, tidak kerja keras dan tidak kerja produktif. Sehingga anak-anak dibiarkan tidak mendapatkan beasiswa tersebut hingga saat ini,” lanjutnya.

Selanjutnya, instruksi agar jangan terjebak rutinitas yang monoton, dan selalu check masalah di lapangan dan cari solusi, menurut Timboel Siregar, juga tidak terjadi.

“Akibat pandemi banyak pasien JKN yang sakit dan harus kontrol ke Rumah Sakit, tapi tidak berani ke Rumah Sakit. Namun hal ini dibiarkan sehingga penyakit si pasien menjadi komplikasi,” ungkapnya.

Halodoc saja bisa buat Telemedicine masa sih Kemenkes tidak bisa buat telemedicine untuk Program JKN. “Ini karena kerja monoton yang tidak inovatif. Dan para pejabat tidak mau cek ke lapangan untuk cari solusi, sehingga masyarakat mengalami kesulitan,” lanjutnya.

Seorang Dirut Rumah Sakit Swasta di Tangerang pernah menyampaikan, sejak bulan September banyak pasien JKN yang sudah berani berobat ke Rumah Sakit tapi dalam kondisi komplikasi.

“Kalau Pak Dirut BPJS Kesehatan dalam RDPU dengan Komisi IX pernah bilang Program JKN dalam tahun ini akan surplus Rp 2,56 Triliun, ini karena pasien JKN banyak yang tidak berani ke Rumah Sakit,” terang Timboel Siregar.

Hal ini akan menjadi masalah di 2021, dimana pasien JKN yang sudah komplikasi akan ke Rumah Sakit, dan ini akan menjadi biaya besar dan 2021 akan defisit lagi.

Selain itu, persoalan Asosiasi Rumah Sakit Swasta dengan BPJS Kesehatan tentang klaim biaya bayi baru lahir yang belum dibayar BPJS Kesehatan masih belum selesai.

“Dan ini seharusnya bisa diselesaikan oleh para pembantunya Presiden,” ujarnya.

Menurutnya, persoalan-persoalan ini tidak dievaluasi Presiden, sehingga kerja para pembantunya dibiarkan saja yang berakibat masyarakat yang mendapat kesulitannya.

“Saya setuju Presiden memberikan arahannya, tapi jangan lupa evaluasi dan kontrol para pembantu Presiden tersebut. Sehingga tidak sekedar kerja semaunya saja. Presiden sebaiknya segera mengevaluasi para pembantunya,” tandas Timboel Siregar.(RGR)