Pakar Hukum Pidana Prof Indriyanto Seno Adji berpendapat, ancaman hukuman mati bagi koruptor bukanlah suatu wacana.
“Karena Undang-Undang Tipikor memang sudah mengaturnya,” ujar Prof Indriyanto Seno Adji, Rabu (24/02/2021).
Akan tetapi, menurut mantan Plt Wakil Ketua KPK ini, penerapan hukuman mati bagi para koruptor belum teruji untuk menghabisi perilaku korup.
Saya tidak melihat bahwa hukuman mati sebagai efektivitas sarana absolut dalam pencegahan maupun penindakan korupsi,” ujarnya.
Guru Besar Hukum UI ini menyarankan, penerapan hukuman mati bagi koruptor sebaiknya dilakukan ketika sudah tidak ada upaya lain yang mampu memberantas korupsi di Indonesia.
“Sebaiknya tuntutan pidana mati hanya dilakukan sebagai langkah paling akhir dan darurat, dengan mempertahankan prinsip ultimum remedium,” jelas Prof Indriyanto.
Menurutnya, hukuman pidana mati juga tidak mengurangi tingkat kejahatan, modus dan sarana yang variatif, termasuk juga kejahatan koruptif.
“Bahkan isu pidana mati juga menimbulkan polemik dan perdebatan yang pro kontra,” sebutnya.
Prof Indriyanto Seno Adji melihat, persoalan ancaman pidana maksimum khusus yang terdapat dalam Undang-Undang Tipikor saja tidak implementatif.
“Bahkan, kalau ada penjatuhan pidana saja, tidak pernah melebihi dari setengah ancaman maksimum pidana khusus,” ujarnya.
Dengan berkaca pada implementasi penerapan hukuman pidana itu, Prof Indriyanto pesimis bahwa hukuman mati bagi koruptor bisa dilaksanakan di Indonesia.
“Sehingga, memang pidana mati dalam Tipikor itu saya anggap tidak efektif,” lanjutnya.
Prof Indriyanto Seno Adji menyarankan, sebaiknya mencari alternatif lain, selain hukuman pidana mati.
“Kan bisa dicarikan model regulatif yang preventif dibandingkan sarana pidana mati. Misalnya saja, model Deferred Prosecution Agreement atau DPA, berupa ganti rugi dari pelaku kepada Negara. Itu bisa mendatangkan manfaat besar bagi Negara, dibandingkan pidana pemidanaan penjara pelaku,” tandas Prof Indriyanto Seno Adji.(RGR)