Sekretaris Jenderal Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI), Dika Moehammad menyatakan, di usia Negara Republik Indonesia yang sudah 77 tahun, masyarakat yang sudah miskin malah semakin miskin.
Dan Negara melalui Pemerintah membiarkan, tanpa adanya upaya serius menanggulangi kemiskinan itu.
“Semakin miskin. Semakin miskin. Itulah kondisi rakyat Indonesia hari-hari ini, di saat usia kemerdekaan sudah 77 tahun. Rakyat ditimpa oleh berbagai masalah. Tergencet. Lapar dan menderita. Data berbicara. Kemiskinan umum di Indonesia seperti mendaki bukit, terus mengalami peningkatan menjadi 26,42 juta pada Maret 2020,” tutur Dika Moehammad, dalam siaran pers, Rabu (24/08/2022).
Kemudian semakin tinggi di September 2020 dan Maret 2021menjadi sekitar 27,55-27,54 juta, walaupun kembali sedikit menurun di September 2021 menjadi 26,5 juta dan menjadi 26,16 juta di Maret2022 (BPS, 2022).
Menurut Dika, data tersebut menunjukkan bahwa pandemi Covid-19 telah menyebabkan meningkatkan kemiskinan dan tingkat kemiskinan Indonesia belum kembali hingga ke situasi sebelum pandemi di tahun 2019, yang jumlahnya sekitar 24,78 juta.
“Realitas yang menyedihkan dan membuat miris kita semua,” ujarnya.
Tidak hanya itu, lanjut Dika Moehammad yang juga sebagai Sekretaris Nasional Koalisi Reformasi Perlindungan Sosial ini, masih ada lagi yang harus diutarakan.
Selain itu, kemiskinan ekstrem di Indonesia juga bertambah, di mana angka kemiskinan ekstrem di Indonesia sejak 2020 mengalami peningkatan, di mana pada 2020 terdapat 3,8 persen, di tahun 2021 terdapat 4 persen penduduk atau sebesar 10,86 juta jiwa (Katadata, 2021; TNPK2K, 2022).
Adapun Provinsi dengan kemiskinan ekstrem terbesar di Indonesia adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTT, Maluku, Papua Barat, dan Papua atau sekitar 7 Provinsi dengan 35 Kabupaten. Hal tersebut tergambar dari prioritas penanganan kemiskinan ekstrem di 7 Provinsi dan 35 Kabupaten (Bestari, 2022).
Adapun beberapa contoh Kabupaten dan Kota degan kantong-kantong kemiskinan ekstrem adalah Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bogor, Pandeglang, Bandung, dan Garut yang berada di Jawa, serta Kabupaten Mappi, Sumba Barat Daya, dan Aceh Utara yang berada di luar Jawa (Republika, 2022).
“Data tersebut berbicara pada kita betapa derita itu ada dimana-mana. Dari ujung Barat sampai Timur. Ujung Selatan sampai Utara,” lanjut Dika Moehammad.
Kondisi masyarakat yang mengalami kemiskinan ekstrem hampir 41,6 persen dari sekitar 10,86 juta jiwa pernah melewatkan makan hingga tidak makan sepanjang hari karena kekurangan uang (Republika, 2022).
Tentu jumlah yang tidak sedikit. Dan yang lebih ironis adalah masyarakat yang mengalami kemiskinan ekstrem berumur 15 tahun ke atas 56,76 persennya adalah orang yang bekerja serta 38,01 persen bukan angkatan kerja, dan 5,23 persen adalah pengangguran.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa mereka yang mengalami kemiskinan ekstrem adalah masyarakat yang diupah dengan tidak layak (Iswara, 2022).
“Ibaratnya, mereka manusia yang hidup segan karena derita yang tidak putus sepanjang tahun. Dari mulai bangun pagi sampai tidur, mereka terus menerus berselimut kemiskinan,” ujarnya.
Namun, kata dia lagi, yang perlu dicatat adalah garis kemiskinan di Indonesia cukup rendah. Garis kemiskinan di Indonesia hanya sebesar Rp 505.469 per bulan atau sekitar Rp 16.618.
Sedangkan garis kemiskinan ekstrem di Indonesia adalah USD 1,9 PPP atau setara Rp 9.041,1 karena garis kemiskinan tidak didasarkan pada kurs rupiah terhadap dolar hari ini sebesar Rp 14.756, tetapi memakai USD Purchasing Power Parity (Keseimbangan Kemampuan Belanja) atau perbandingan nilai suatu mata uang yang ditentukan oleh daya beli uang terhadap barang dan jasa di masing-masing Negara.
Lantas, kata dia, jika dilihat dari garis kemiskinan umum serta garis kemiskinan ekstrem di Indonesia, maka sebenarnya banyak orang miskin yang tidak dapat dikategorikan miskin karena konsumsi hidupnya melebihi garis kemiskinan. Tetapi tetap mengalami kekurangan untuk mencapai standar hidup yang layak.
“Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi Negara untuk berbangga ketika berhasil menurunkan kemiskinan umum dan kemiskinan ekstrem atau berbangga, karena kemiskinan umum hanya berkisar di angka 10 persen dari keseluruhan penduduk,” sebutnya.
“Karena yang terjadi sebenarnya, kemiskinan tidak pernah pergi ke mana-mana. Hanya angkanya saja yang diutak-atik sesuai dengan kepentingan,” imbuhnya.
Perlu ditegaskan bahwa akar permasalahan dari persoalan tersebut adalah praktik Perlindungan Sosial Tahun 2022 yang cakupannya terbatas.
Perlinsos 2022 itu juga memiliki nilai manfaat yang rendah, banyak penyimpangan, dan tidak adanya skema pemberdayaan.

Lebih parahnya lagi, sebut Dika, komitmen anggaran terhadap Perlindungan Sosial juga rendah. Hal tersebut dibuktikan dengan tindakan Kemensos dalam mengurangi jumlah penerima setiap tahunnya, dengan alasan masyarakat sudah sejahtera dan adanya data ganda.
Hal tersebut dapat dilihat dari pemangkasan jumlah Penerima Bantuan Sosial hingga 53 juta jiwa akibat adanya data ganda dalam Sistem Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dengan Program Bantuan Sosial lainnya, seperti Program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Bantuan Sosial Tunai (BST), dan Program Keluarga Harapan (PKH) (CNN Indonesia, 2021).
Lantas bagaimana kebijakan APBN 2023 sebagai instrumen untuk mengatasi kemiskinan? Dika memaparkan, dalam Pidato Pengantar Nota Keuangan, Presiden Jokowi menyampaikan salah satu prioritas kebijakan anggaran 2023 adalah akselerasi reformasi sistem perlindungan sosial.
“Namun, pidato tersebut bertolak belakang dengan kenyataan anggaran yang dialokasikan untuk fungsi perlindungan sosial pada belanja Pemerintah Pusat,” ujarnya.
Anggaran Perlinsos tidak hanya jalan di tempat, namun mengalami kemunduran yang signifikan. Anggaran fungsi Perlinsos, terus mengalami penurunan sejak tahun 2021.
“Hal ini menggambarkan peran Negara yang semakin berkurang untuk menyelamatkan kelompok miskin yang semakin susah akibat pandemi,” lanjutnya.
Anggaran Perlinsos tahun 2023 mengalami penurunan hampir Rp 5 triliun pada tahun 2023. Kenyataan inilah yang harus terus menerus dibongkar agar manipulasi itu terkuak.
Jika dilihat lebih rinci, menurunnya anggaran Perlinsos juga terlihat dari program-program Perlinsos yang jalan di tempat, bahkan dihapuskan.
Program Keluarga Harapan misalnya, sejak tahun 2018 tidak mengalami penambahan jumlah penerima manfaat, hanya diberikan pada 10 juta KPM.
Program-program BLT terhadap pedagang kaki lima dan nelayan sebanyak 2,5 juta KPM juga tidak dianggarkan pada tahun 2023.
Sementara BLT yang bersumber dari Dana Desa hanya diprioritaskan pada Daerah dengan kemiskinan ekstrem.
“Padahal rencana Pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi jelaskan berdampak buruk dan menggerus daya beli akibat inflasi yang ditimbulkan, tidak hanya pada kelompok miskin, tetapi juga kelompok rentan miskin yang dapat terperosok pada kategori miskin,” lanjut Dika Moehammad.
Hal lain yang tak kalah penting, gini rasio bermasalah, otomatis kesenjangan makin lebar. Gini ratio di perkotaan tercatat pada Maret 2022 sebesar 0,403, sementara di perdesaan pada Maret 2022 sebesar 0,314 (BPS, 2022).
Meningkatnya gini ratio di perkotaan jelas memicu peningkatan ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia.
“Data gini ratio tersebut artinya membutuhkan dukungan program untuk pengentasan kemiskinan, salah satunya adalah PKH Lokal,” ujarnya.
Penguatan subsidi untuk kebutuhan dasar masyarakat yang tepat sasaran, penguatan jaring pengaman sosial yang berkelanjutan menjadi landasan kuat mengapa program dan anggaran perlindungan sosial perlu untuk ditingkatkan, bahkan pada program inovasi yang bersifat lokal.
Oleh karena itu, Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) bersama Koalisi Reformasi Perlindungan Sosial yang terdiri dari Perkumpulan Inisiatif, Seknas FITRA, KPRI, Kota Kita dan didukung oleh IBP, menyampaikan rekomendasi sebagai berikut:
Pertama, meningkatkan kembali anggaran fungsi perlindungan sosial untuk memperluas cakupan penerima manfaat dan meningkatkan nilai manfaat perlindungan sosial yang diintegrasikan dengan skema pemberdayaan.
“Program-program perlindungan sosial juga harus ditujukan pada kelompok rentan miskin untuk menjaga daya beli akibat inflasi,” ujarnya.
Kedua, program-program perlindungan sosial di lintas Kementerian harus disatukan agar lebih efektif, sehingga perlindungan sosial mampu menumbuhkan kesejahteraan warga miskin.
Ketiga, memberi kewenangan ke Pemda-Pemda untuk membuat Program Perlinsos atau PLH Lokal guna menutupi keterbatasan APBN dalam membiayai Program-Program Perlinsos.
Keempat, mendorong program Perlinsos khusus untuk perempuan marjinal, karena skema program Perlinsos selama ini tidak menyentuh kelompok ini.***