Aksi Paralel Warga Dairi Tolak Mafia Tambang, Desak Menteri KLHK Tolak Izin PT Dairi Prima Mineral (PT DPM)

Sejak Rabu, 24 Agustus 2022, warga Dairi, Sumatera Utara, gencar menggelar aksi unjuk rasa secara paralel.

Aksi unjuk rasa paralel warga Dairi yang tergabung dalam Sekretariat Bersama Tolak Tambang (Sekber Tolak Tambang) itu dilakukan secara Nasional di Jakarta, kemudian di Provinsi Sumatera Utara, dan di Kabupaten Dairi.

Juru bicara Sekber Tolak Tambang, Judianto Simanjuntak menyampaikan, aksi paralel warga Dairi itu dilakukan di 3 lokasi yakni, secara Nasional di Jakarta, Medan, dan Kabupaten Dairi.

“Aksi-aksi paralel itu untuk mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau KLHK agar tidak mengeluarkan persetujuan lingkungan terhadap PT Dairi Prima Mineral,” ujar Judianto Simanjuntak, kepada wartawan, Minggu (28/08/2022).

Judianto melanjutkan, perwakilan masyarakat Kabupaten Dairi, yang  berada di Dairi, Medan dan Jakarta bersepakat melakukan aksi pararel dengan isu yang sama, yaitu mendesak Pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk tidak memberikan persetujuan lingkungan kepada PT Dairi Prima Mineral (PT DPM).

Aksi-aksi itu, lanjutnya, sekaligus menginformasikan kepada perwakilan Pemerintahan Tiongkok yang ada di Indonesia, yaitu lewat Kedutaan Besar Republik Rakyat Tiongkok (Kedubes RRT), terkait ancaman bencana yang ekstrem dari kehadiran  perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki China sebesar 51 persen, yaitu  PT Dairi Prima Mineral.

Judianto Simanjuntak mengatakan, meskipun Indonesia sudah berusia 77 tahun kemerdekaannya, tetapi keterancaman ruang hidup masyarakat masih menjadi persoalan yang serius yang perlu diperhatikan Negara atas pemenuhan hak-hak masyarakat, untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat.

“Kehadiran Industri Ekstraktif di tengah ruang hidup masyarakat membuat masyarakat harus terus berjuang untuk mendapatkan kedaulatan di atas tanahnya sendiri,” ujarnya.

Pada tahun 2019 perwakilan warga masyarakat dari Desa Pandiangan, Desa Bongkaras dan Desa Sumbari membuat pengaduan ke salah satu lembaga Ombudsman Internasional yaitu Compliance Advisor Ombudsman (CAO) yang merupakan bagian dari Bank Dunia dan Badan Kepatuhan Independen, yang mengawasi International Finance Corporation (IFC) dan MIGA, yang merupakan bagian dari Bank Dunia, yakni terkait pendanaan PT DPM yang didanai oleh IFC.

Hasil dari pengaduan tersebut semakin menguatkan kekhawatiran warga Dairi. Dalam laporan CAO  menyebutkan bahwa tambang yang direncanakan oleh PT Dairi Prima Mineral (PT DPM) memiliki kombinasi resiko yang tinggi karena beberapa faktor.

“Salah satunya adalah terkait pembangunan bendungan limbah yang diusulkan oleh perusahaan, tidak sesuai dengan standar internasional,” ungkap Judianto Simanjuntak.

Laporan CAO tersebut dikuatkan oleh pendapat 2 orang ahli yaitu Steve Emerman yang merupakan Ahli Hidrologi, dan Richard Meehan sebagai Ahli Bendungan, yang mengatakan bahwa rencana pertambangan yang diusulkan tidaklah tepat.

Karena lokasi tambang berada di hulu Desa, berada di atas tanah yang tidak stabil, berada di lokasi gempa tertinggi di dunia. Kemudian, data-data PT Dairi Prima Mineral (PT DPM) tidak lengkap, terkhusus data tentang pengelolaan dan penyimpanan limbah.

Investigasi oleh pengawas internal Bank Dunia memperingatkan bahwa tambang Dairi Prima Mineral yang diusulkan, yang didukung oleh kelompok pertambangan China Nonferrous, mengancam keberadaan masyarakat.

“Dan Masyarakat yang tinggal di dekat tambang marah. Mereka tidak pernah menyetujui tambang yang sangat berisiko ini dan tidak  diberi kesempatan untuk membuat keputusan soal proyek ini,” sebut Judianto Simanjuntak.

Keberadaan fasilitas pertambangan yaitu Pembangunan bedungan limbah seluas 24 hektar yang berada di hulu desa menjadi seperti bom waktu bencana besar yang akan datang.

Judianto Simanjuntak melanjutkan, Masyarakat Dairi yang berangkat ke Jakarta merupakan perwakilan dari beberapa masyarakat Dairi yang prihatin dan khawatir akan keberadaan tambang.

Mereka menyampaikan harapan dan doanya kepada Pemerintah, terkhusus KLHK dan Kedutaan Besar China dengan melakukan kegiatan Tradisional Batak yaitu ‘mangandung’.

“Andung-andung ini merupakan ratapan, jerit tangis.  Masyarakat menyampaikan harapan dan doa pada Tuhan ketika dia merasakan kehidupan yang sengsara akan  menimpanya di kemudian hari,” katanya.

Pangandung (orang yang melantunkan andung-andung) merasakan seolah-olah kehidupan yang menyengsarakan akan terjadi pada dirinya dan desanya jika tambang beroperasi, sehingga dia hanya bisa berharap dan memanjatkan doa-doa pada Tuhan.

Aksi unjuk rasa paralel warga Dairi, Sumatera Utara bersama Sekretariat Bersama Tolak Tambang (Sekber Tolak Tambang) menolak PT Dairi Prima Mineral (PT DPM), di Jakarta, Rabu, 24 Agustus 2022.(Dok)
Aksi unjuk rasa paralel warga Dairi, Sumatera Utara bersama Sekretariat Bersama Tolak Tambang (Sekber Tolak Tambang) menolak PT Dairi Prima Mineral (PT DPM), di Jakarta, Rabu, 24 Agustus 2022.(Dok)

Aksi mangandug dilakukan di titik pertama aksi yaitu di depan Kedutaan Besar Republik Rakyat Tiongkok (Kedubes RRT). Massa aksi berharap dapat diterima masuk ke dalam untuk dapat berdialog secara langsung dan menyerahkan dokumen yang terdiri dari Petisi dari masyarakat, surat terbuka dari masyarakat, dan laporan CAO, agar dapat diterima secara langsung oleh perwakilan dari Kedubes RRT.

“Tetapi sangat disayangkan setelah menunggu konfirmasi selama satu jam, masyarakat tidak diijinkan masuk ke dalam dengan alasan Covid-19, baik perwakilan dari Kedubes RRT juga tidak mau keluar untuk menemui massa aksi. Mereka hanya mengutus security untuk menerima dokumen-dokumen yang akan disampaikan masyarakat. Masyarakat yang kecewa akhirnya meninggalkan Kedubes RRT tanpa menitipkan dokumen tersebut pada security,” terang Judianto.

Kemudian, lanjut dia, aksi dilanjutkan di depan kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

“Sebelum aksi dilakukan, perwakilan masyarakat diundang oleh KLHK untuk beraudiensi yang diterima oleh PDLUK Ibu Ester, dan Bagian Gakkum Pak Surya serta bagian Humas KLHK,” ujar Judianto.

Dalam kesempatan tersebut, Mangatur Sihombing, yakni perwakilan masyarakat dari Desa Sumbari menyampaikan terkait isi Laporan CAO, kejadian bocor limbah yang dialami warga pada masa eksplorasi PT DPM di tahun 2012.

“Dan kejadian banjir bandang pada Desember 2018 yang merenggut 7 orang korban, dua korban tidak ditemukan jenazahnya sampai sekarang,” ujar Mangatur Sihombing.

Di lokasi yang sama, warga Dairi lainnya, Marlince Sinambela menambahkan betapa dia trauma hingga saat ini jika mengingat musibah banjir bandang yang menyebabkan sawah dan ladang rusak.

Masyarakat telah berulang kali mencoba menyampaikan kekhawatirannya tersebut kepada perusahaan, Pemerintah Kabupaten sampai  Pemerintah Pusat.

“Dan juga melalui CAO, tetapi belum mendapat tanggapan. Oleh karena itu, masyarakat menuntut Pemerintah Indonesia untuk membatalkan proyek ini, dan tidak memberikan persetujuan lingkungan ke PT Dairi Prima Mineral atau PT DPM,” ujarnya.***

 

Narahubung:

Mangatur Lumbantoruan (081276375400)

SEKBER TOLAK TAMBANG (082274999250)