Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo diminta segera menerbitkan Peraturan Kapolri (Perkap) Baru, untuk mengantisipasi adanya peristiwa pembunuhan sewenang-wenang yang dilakukan oleh oknum Polisi di masa mendatang.
Hal itu disampaikan Juru bicara Advokat Penegakan Hukum dan Keadilan (TAMPAK), Dr Fernando Silalahi, SH, menyikapi peristiwa pembunuhan sewenang-wenang yang dialami Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat atau yang dikenal dengan Brigadir J, yang sudah sangat mengguncang Indonesia dan dunia.
“Kapolri harus menyikapi secara cepat dan bijak, dengan menerbitkan Perkap baru, guna menghindari terjadinya peristiwa yang sama kelak. Maka TAMPAK meminta Kapolri segera menerbitkan Perkap baru untuk melarang anak buah untuk tidak melakukan Perintah atasan jikalau bertentangan dengan hukum dan norma,” tutur Dr Fernando Silalahi, SH., dalam keterangan yang diterima, Rabu (14/09/2022).
Hal itu disampaikan Dr. Fernando Silalahi, SH, setelah mencermati video animasi pembunuhan Brigadir Josua yang dirilis versi Bareskrim Polri baru-baru ini.
Menurut Dosen di Program Pasca sarjana Magister Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) ini, pihaknya memberikan saran kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo agar segera mengeluarkan Perkap terkait dapatnya seorang bawahan menolak Perintah Atasan yang bertentangan dengan hukum dan norma.
Sebelumnya pada Selasa tanggal 30 Agustus 2022, Bareskrim Polri merilis versi video animasi pembunuhan Brigadir Josua.
Di mana dalam animasi tersebut, disebutkan eks Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo memerintahkan Bharada E untuk melakukan penembakan ke Brigadir Josua.
Dr Fernando Silalahi yang juga seorang Advokat di Law Firm Dr Fernando Silalahi & Partners yang berkantor di Menteng Jakarta Pusat itu, mendorong Kapolri harus segera mengeluarkan Perkap, agar peristiwa yang terjadi kepada Brigadir Josua tidak terulang kembali.
“Dan atau peristiwa-peristiwa hukum lainnya yang serupa atau pun yang lain tidak terjadi di masa depan. Yang mana ketika seorang bawahan diperintah atasan, dapat menolak perintah atasan bila bertentangan dengan norma dan hukum yang berlaku,” ujar Fernando Silalahi.
Dia mengungkapkan, berdasarkan Perkap No 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, pada Pasal 13 Ayat 2 mengatakan: Setiap Anggota Polri yang berkedudukan sebagai Atasan dilarang:
- memberi perintah yang bertentangan dengan norma hukum, norma agama, dan norma kesusilaan : dan
- menggunakan kewenangannya secara tidak bertanggungjawab.
Sementara di Pasal 13 Ayat 3 mengatakan: Setiap Anggota Polri yang berkedudukan sebagai Bawahan dilarang:
- melawan atau menentang Atasan dengan kata-kata atau tindakan yang tidak sopan, dan
- menyampaikan laporan yang tidak benar kepada Atasan.
Bahwa berdasarkan pasal 13 ayat 3 dapat diartikan oleh bawahan tidak boleh melawan perintah atasan.
Bila melihat pasal 51 KUHP ayat (1) mengatakan : Barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak akan itu, tidak boleh dihukum.
Pasal 51 KUHP ayat (2) mengatakan: Perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang tidak berhak tidak membebaskan dari hukuman, kecuali jika pegawai yang di bawahnya atas kepercayaannya memandang bahwa perintah itu seakan-akan diberikan kuasa yang berhak dengan sah dan menjalankan perintah itu menjadi kewajiban pegawai yang di bawah perintah tadi.
Berdasarkan tersebut, Advokat Penegakan Hukum dan Keadilan (TAMPAK) mendesak Kapolri untuk segera merevisi Perkap No 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, pada Pasal 13 Ayat 2 dan pada Pasal 13 Ayat 3.
“Agar tidak membuat penafsiran hukum yang berbeda-beda, baik seorang pimpinan maupun seorang bawahan,” ujarnya.
Advokat Penegakan Hukum dan Keadilan (TAMPAK) juga mendesak Kapolri agar fungsi pengawasan di internal kepolisian lebih diefektifkan lagi.
“Supaya tidak ada seorang pimpinan menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya,” ujar Fernando.
Terkait dengan adanya bawahan yang melaksanakan perintah atasan dalam peristiwa pembunuhan Brigadir Josua, bila bawahan tersebut tidak terkait langsung dengan peristiwa tersebut, maka sebaiknya Kapolri mengevaluasi. “Terutama kepada prajurit-prajurit terendah,” tandas Fernando Silalahi.***