Seorang Advokat yang merupakan inisiator dan juru bicara Tim Advokat Penegakan Hukum dan Keadilan (TAMPAK), Sandi Eben Ezer Situngkir, mengakukan permohonan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Republik Indonesia, atau judicial review Undang-Undang Polri, pada Kamis (13/10/2022).
Sandi Eben Ezer Situngkir yang sehari-hari berprofesi sebagai Advokat itu menyatakan, banyak sekali kewenangan yang berlebihan dan sering disalahgunakan oleh Polisi, yang tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Republik Indonesia itu.
Dalam permohonan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Republik Indonesia, atau judicial review Undang-Undang Polri ini, Sandi Eben Ezer Situngkir mengajukannya sebagai Pemohon Perorangan, yakni sebagai Warga Negara Indonesia yang berprofesi sebagai Advokat.
Legal standing atau kedudukan hukum Pemohon banyak melakukan Advokasi publik pada masyarakat korban penggusuran, korban penangkapan polisi terhadap aktivis, kebebasan beragama pada Tim Pembela Kebebasa Beragama (TPKB), termasuk membentuk Tim Advokasi Penegakan Hukum dan Keadilan (TAMPAK) untuk melakukan advokasi pembunuhan Brigadir Josua Hutabarat.
“Sebagai warga Negara dan Advokat, menurut Undang-Undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat, Pemohon adalah Penegak Hukum yang berkewajiban menegakkan dan menjunjung tinggi hukum,” tutur Sandi Eben Ezer Situngkir, dalam siaran persnya, Kamis (13/10/2022).
Bahkan, diungkapkan dia, dirinya sebagai Pemohon pernah juga dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh Konglomerasi Properti, akibat pemberitaan karena pengusaha tersebut ditetapkan sebagai Tersangka.
“Di mana kami waktu itu adalah Kuasa Hukum korban property tak bertanggungjawab,” ujarnya.
Sandi Eben Ezer Situngkir merinci, beberapa ketentuan dalam Pasal 15, 16 dan 18 UU Polri, yakni membolehkan anggota Polri melakukan tindakan kepolisian menurut penilaian atau penafsirannya sendiri.
“Kewenangan yang diberikan kepada Polri untuk melakukan penilaian atau penafsiran sendiri untuk melakukan tugas dan kewenangannya sangat berbahaya dan melanggar hak hidup, hak aman, hak kepastian hukum yang diatur dalam UUD Tahun 1945,” tuturnya.
Sebagai manusia, lanjutnya, Polisi pastilah bisa salah oleh karena lalai atau sengaja. Pribadi polisi yang terdiri dari daging, jiwa dan roh adalah lemah. Akan tetapi UU Polri memberikan kewenangan untuk menilai dan menafsirkan sendiri untuk melakukan tindakan.
“Anggota Polri dapat saja menembak seseorang termasuk Pemohon dengan alasan melarikan diri atau membahayakan jiwa Polisi,” jelasnya.
Kemudian, dia mengingatkan, anggota Polri juga dapat menetapkan dan menahan seseorang atas penilaian sendiri atau lebih dikenal istilah diskresi.
Maka jangan heran, kata dia lagi, banyaknya penembakan polisi dengan alasan melarikan diri dan membahayakan keselamatan anggota Polri.
Menurut Situngkir, banyak juga keluhan dari masyarakat atas tindakan kriminalisasi oleh Polri atas dugaan tindak pidana, baik karena tidak cukup bukti maupun karena perbuatan tersebut adalah perdata.
“Alasannya sesuai dengan ketentuan UU Polri yang dapat menilai atau menafsirkan sendiri peristiwa tersebut,” ujarnya.
Menurut Situngkir, kasus pembunuhan terhadap Ajudan Brigadir Polisi Nopriansyah Josua Hutabarat, Kasus Kerusuhan Kanjuruhan, Kasus Munir, Kasus Novel Baswedan, kasus Kilometer 50, setidaknya hadir karena kewenangan yang diberikan oleh UU Polri menafsirkan atau menilai sendiri.
“Celakanya, perbuatan tersebut hanya dipandang sebagai pelanggaran Kode Etik Polri yang pemeriksaannya dilakukan oleh Propam Polri. Polisi memeriksa Polisi melanggar prinsip imparsialitas dan keterbukaan. Jeruk makan jeruk karena Polisi memeriksa Polisi,” tuturnya.
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), lanjut Sandi Situngkir, menurut Pasal 38 dan Pasal 39 UU Polri hanya lembaga pemberi saran kepada Presiden, yang anggotanya wajib 3 orang dari unsur Menterinya Presiden, ditambah pakar kepolisian notabene adalah pensiunan Polri.
“Kompolnas tidak memiliki kewenangan memeriksa anggota Polri. Menteri yang bergaji besar dengan status anggota Kompolnas mendapatkan gaji double,” bebernya.
Sehingga, dia menegaskan, apabila diharapkan ketiga menteri yaitu Menkopolhukam, Mendagri, Menkumham sebagai anggota Kompolnas, maka dipastikan tidak dapat mengawasi Polri, karena sama-sama kekurangan kekuasaan eksekutif.
“Maka diperlukan lembaga independen sebagai pengawas eksternal Polri termasuk memeriksa, mengadili pelanggaran etik anggota Polri,” kata dia.
Persidangan etik adalah lembaga Peradilan yang bebas dan mandiri. Akan tetapi dengan UU Polri yang sekarang ini, tidak mungkin hal itu terjadi.
Oleh karena itu Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk melahirkan norma baru di Pasal 38 UU Polri, kewenangan Kompolnas termasuk memeriksa, mengadili pelanggaran etik yang dilakukan oleh anggota Polri.
Selain itu Pemohon juga memohon supaya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) menyatakan keberlakuan Pasal 39 UU Polri, tetap berlaku sepanjang dimaknai anggota Kompolnas itu adalah unsur masyarakat yang dipilih dan ditetapkan oleh Presiden.
Sekarang ini bunyi Pasal 39 UU Polri, menyatakan anggota Kompolnas berasal dari 3 Menteri, pakar kepolisian dan tokoh masyarakat.
Terhadap pasal 15, 16 dan 18 UU Polri, Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) supaya dinyatakan tidak miliki kekuatan hukum mengikat.
“Karena melanggar aturan hak konstitusional warga Negara, termasuk kami sebagai Pemohon. Persidangan kemungkinan akan mulai dilaksanakan mulai minggu depan secara daring,” tandas Sandi Eben Ezer Situngkir.***
Salam Hormat
Pemohon
Sandi E. Situngkir, SH, MH
Advokat/ Inisiator dan Juru bicara Tim Advokasi Penegakan Hukum dan Keadilan (TAMPAK)
HP. 08111000911.