Yang Perlu Direvisi Adalah Peraturan Pemerintah No 36, Bukan Malah Menghadirkan Permenaker Nomor 18 Tahun 2022.
Menteri Ketenagakerjaan baru saja mengeluarkan Permenaker No 18 tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023.
Pada Pasal 6 Permenaker ini formula perhitungan kenaikan Upah Minimum Tahun 2023 menjadi:
UM(t+1) = UM(t) + (Penyesuaian Nilai UM x UM(t))
Keterangan:
UM(t+1) : Upah Minimum yang akan ditetapkan.
UM(t) : Upah Minimum tahun berjalan.
Penyesuaian
Nilai Upah Minumum: Penyesuaian nilai Upah Minimum yang merupakan penjumlahan antara inflasi dengan perkalian pertumbuhan ekonomi dan α (alfa).
Jadi Pasal 26 PP No 36 tahun 2021 yang mengamanatkan formula kenaikan Upah Minimum (UM) diubah oleh Pasal 6 Permenaker No 18 tahun 2022.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Sekjen OPSI), Timboel Siregar, menyampaikan, atas lahirnya Permenaker No 18 Tahun 2022, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan, yaitu, satu, tentunya rumus baru ini lebih baik dari rumus di Pasal 26 PP No 36 Tahun 2021.
Paling tidak dengan rumus baru ini, kenaikan Upah Minimum Tahun 2023 di atas inflasi yang terjadi di 2022.
Namun Upah Minimum Tahun 2023 (UM 2023) akan diperhadapkan dengan inflasi 2023, sehingga Permenaker No 18 ini belum otomatis memastikan daya beli buruh tidak turun di Tahun 2023.
“Ini bisa terjadi karena adanya faktor alfa yang dikalikan dengan pertumbuhan ekonomi. Formula ini berpotensi menyebabkan kenaikan UM 2023 tidak otomatis lebih tinggi dari inflasi 2023,” terang Timboel Siregar, Senin (21/11/2022).
Dua, rumus formula ini seperti PP 78 tahun 2015 yaitu penjumlahan pertumbuhan ekonomi dan inflasi nasional.
Namun dalam rumus baru ini ada faktor alfa yang nilainya dalam rentang 0.10 sampai 0.30. Tidak ada kejelasan tentang nilai alfa ini dan pembatasan nilai alfa tersebut.
“Mengapa harus ada nilai alfa? Apa dasarnya? Dan mengapa harus dibatasi antara 0.1 sampai 0.3? Kenapa tidak ditentukan misalnya nilai alfa antara 0.5 hingga 1 sehingga mendekati formula PP No 78 Tahun 2015,” tanya Timboel Siregar.
Simulasi Permenaker baru ini, sebagai contoh pada kenaikan UMP DKI Jakarta 2023 berdasarkan nilai inflasi 4.61 persen dan pertumbuhan ekonomi 4.96 persen dengan asumsi nilai alfa 0.10, maka kenaikan UMP DKI 2023 adalah sebesar 4.61 persen + (4.96 x 0.10) = 5.10 persen. Kalau pakai nilai alfa 0.3 maka kenaikan UM 2023 sebesar 6.09 persen.
“Dengan dua simulasi ini, kenaikan UMP DKI 2023 akan diperhadapkan pada nilai inflasi 2023, yang nilai inflasinya bisa lebih tinggi dari kenaikan UM 2023,” katanya.
Tiga, Permenaker ini hanya mengatur kenaikan UM 2023 saja, dan untuk tahun berikutnya akan kembali ke formula yang diatur di Pasal 26 PP 36 tahun 2021.
Permenaker No 18 tahun 2022 tidak memenuhi kaidah pembuatan peraturan perundangan yang diatur di UU No 13 Tahun 2022 junto UU No 12 Tahun 2011.
Permenaker ini tidak didiskusikan di Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional atau LKS Tripartit Nasional, dan tidak ada argumentasi terkait aspek yuridis, sosiologis dan filosofisnya.
Empat, secara yuridis, formula dalam Permenaker ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 26 PP No 36 tahun 2021.
“Oleh karenanya Permenaker ini seharusnya tidak bisa dijalankan,” sebut Timboel Siregar.
Timboel Siregar menerangkan, hierarki peraturan perundang-undangan sudah sangat jelas diatur di Pasal 7 ayat 1 UU 12 tahun 2011.
Pasal 7 ayat 2 UU 12 tahun 2011 dengan sangat jelas menyatakan kekuatan hukum peraturan perundangan sesuai dengan hierarkinya sehingga isi Permenaker tidak boleh bertentangan dengan PP.
Lima, seharusnya Presiden memperbaiki PP 36 tahun 2021 saja, dan hal ini akan berlaku untuk kenaikan UM di tahun tahun berikutnya, tidak hanya 2023.
Seharusnya Permenaker No 18 tahun 2022 bisa menjawab aspek sosiologis dan filosofis hadirnya UM, dan terimplementasi di tahun tahun berikutnya.
Secara sosiologis apakah daya beli buruh tetap terjaga ataukah menurun. Rata-rata kenaikan UM 2022 dengan menggunakan Pasal 26 PP No 36 Tahun 2021 sebesar 1.09 persen jauh lebih rendah dari inflasi 2022, yang menyebabkan daya beli buruh turun.
“Filosofi kehadiran Upah Minimum adalah untuk memastikan buruh dan keluarganya tidak miskin. Buruh bekerja namun miskin, yaitu tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup layaknya,” jelasnya.
“Saya berharap kenaikan Upah Minimum di PP No 36 benar-benar diperbaiki daripada membuat Permenaker yang cacat secara yuridis, karena melanggar kaidah hierarki Peraturan Perundang-Undangan, dan tidak menjawab aspek sosiologis dan filosofis,” tuturnya.
Timboel Siregar pun mengusulkan, agar dilakukan Revisi Pasal 26 PP 36 tahun 2021 ini mengatur formula seperti PP No 78 tahun 2015, yaitu penjumlahan inflasi Provinsi dan pertumbuhan ekonomi Provinsi.
Namun kalau pun harus menggunakan alfa seperti isi Pasal 6 Permenaker No 18 Tahun 2022, nilai alfanya dalam rentang antara 0.5 hingga 1.
Rentang ini harus dinegosiasi dalam Dewan Pengupahan Daerah, dan direkomendasi ke Gubernur, yang nantinya akan ditetapkan oleh Gubernur.
“Gubernur diberi kewenangan untuk menetapkan nilai alfa berdasarkan kondisi di wilayahnya sehingga gubernur benar-benar memiliki kewenangan nyata dalam menetapkan kenaikan Upah Minimum. Gubernur harus memperhatikan kondisi wilayahnya dalam menetapkan Upah Minimum,” terangnya.
Pasal 26 PP No 36 tahun 2021 memposisikan Gubernur sebagai robot untuk menentukan kenaikan Upah Minimum.
Kewenangan Gubernur menetapkan kenaikan Upah Minimum yang diamanatkan UU Cipta Kerja (junto UU Ketenagakerjaan) disandera habis oleh Pasal 26 PP No 36 tahun 2021.
“Dan Dewan Pengupahan juga jadi tidak berdaya dalam menjalankan fungsinya,” lanjut Timboel Siregar.
Hadirnya nilai alfa, kata dia lagi, dapat dimaknai sebagai upaya mengembalikan kewenangan Gubernur dan fungsi Dewan Pengupahan, serta menghadirkan kembali semangat dialog sosial di antara Pelaku Hubungan Industrial, yang akan mendukung kenaikan Upah Minimum tidak lebih rendah dari inflasi tahun berjalan.
Timboel Siregar menambahkan, ada putusan MK No 91 Tahun 2020 yang menyatakan tidak boleh membuat keputusan atau regulasi turunan UU Cipta Kerja.
“Ini artinya Permenaker Nomor 18 yang hadir mengatur tentang Upah Minimum, sudah melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut,” tandas Timboel Siregar.***