Saat ini Pemerintah dan DPR sedang menggodok dua Rancangan Undang-Undang (RUU) dengan menggunakan metode Omnibus Law.
Kedua RUU tersebut adalah Rancangan Undang-Undang Pengembangan Dan Penguatan Sistem Keuangan (RUU P2SK), dan Rancangan Undang-Undang Kesehatan (RUU Kesehatan).
Kedua RUU melibatkan banyak Undang-Undang eksisting, yang pasal-pasalnya akan direvisi di kedua RUU tersebut.
Kedua RUU ini mendapatkan sorotan masyarakat karena dalam naskah akademiknya merancang hal- hal yang berpotensi menciptakan kontraproduktif.
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menyampaikan, dalam naskah akademik RUU Kesehatan, mengatur banyak hal yang merevisi UU eksisting.
Salah satu UU yang akan ikut direvisi adalah UU No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Sebagai contoh, pasal-pasal di UU BPJS yang akan direvisi adalah tentang tanggung jawab Direksi BPJS (BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan) yaitu ke Menteri teknis, yang di UU BPJS saat ini Direksi bertanggung jawab langsung ke Presiden.
“Posisi BPJS ingin dijadikan seperti BUMN, yang dikendalikan Menteri,” ujar Timboel Siregar, Senin (21/11/2022).
Timboel Siregar yang juga Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Sekjen OPSI), melanjutkan, lalu peran Dewan Pengawas BPJS akan dijadikan seperti Komisaris BUMN, yaitu mengarahkan kerja-kerja Direksi serta mengusulkan pemberhentian dan pengangkatan Direksi BPJS.
Demikian juga ada 14 UU terkait kesehatan dan kedokteran yang akan direvisi seperti keberadaan konsil kedokteran, organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan lain sebagainya.
“Dari diskusi-diskusi yang saya ikuti, RUU Kesehatan ini menuai banyak protes dari kalangan organisasi kesehatan, pekerja kesehatan serta lembaga masyarakat lainnya,” tuturnya.
Timboel Siregar mengatakan, dari kandungan naskah akademik yang beredar di masyarakat pun, tampak pembuatan naskah akedemik sepertinya dibuat berdasarkan kepentingan beberapa pihak saja, dan menarasikan sesuatu yang tidak benar.
“Padahal esensi naskah akademik akan menjadi acuan dalam penyusunan batang tubuh RUU Kesehatan,” sebutnya.
Salah satu narasi yang menurutnya tidak benar dan diuraikan secara hiperbol adalah tentang relasi Menteri dan Direksi BPJS yang selalu tidak harmonis.
“Dari narasi ketidakharmonisan tersebut dimunculkan ide Direksi bertanggung jawab ke Menteri teknis,” ucap Timboel Siregar.
Timboel Siregar pun mempertanyakan, apa dasar acuan naskah akademik menyatakan telah terjadi ketidakharmonisan tersebut?
“Bukankah antara kementerian dan BPJS sudah memiliki peran dan fungsi yang jelas dan saling melengkapi. Kementerian sebagai regulator sementara BPJS sebagai operator,” ujarnya.
“Saya kira seharusnya naskah akademik dibuat secara obyektif berdasarkan fakta yang ada, serta mengarah dan mengabdi pada kesejahteraan rakyat. Bukan dibuat demi kepentingan segelintir orang,” lanjut Timboel Siregar.
Demikian juga RUU P2SK, menurut Timboel Siregar, hal itu seharusnya bisa menjawab persoalan masyarakat saat ini, sehingga RUU P2SK akan mendukung kesejahteraan rakyat.
Salah satu yang diatur kembali dalam RUU P2SK adalah tentang Dana Pensiun. Dana pensiun yg diatur dalam UU No 11 tahun 1992 bersifat sukarela, sesuai kesanggupan pengusaha, bisa berupa DPPK (Dana Pensiun Pemberi Kerja) atau DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan).
Dengan adanya program jaminan pensiun di UU No 40 tahun 2004 yang bersifat wajib, maka kecenderungannya pengusaha mengalihkan Program Dana Pensiun ke Program Jaminan Pensiun. Namun RUU P2SK tidak menyenth Program Jaminan Pensiun di UU SJSN.
Seharusnya Pemerintah dan DPR dalam RUU P2SK ini juga memperbaiki Program Jaminan Pensiun, sehingga Jaminan Pensiun bisa mendukung kesejahteraan seluruh pekerja yang memasuki masa pensiun.
Timboel Siregar merinci, hal-hal yang mendesak untuk segera diperbaiki, antara lain, pertama, mengkoneksikan Jaminan Pensiun dengan Dana Pensiun.
“Dana Pensiun adalah top up dari Jaminan Pensiun,” ujarnya.
Kedua, Jaminan Pensiun dibuka untuk Pekerja Informal atau Bukan Penerima Upah, termasuk Pekerja Kemitraan dan Pekerja Migran Indonesia.
“Tidak boleh ada diskriminasi pekerja dalam mengakses Jaminan Pensiun. Semakin banyak pekerja yang terdaftar maka semakin banyak pekerja yang sejahtera di masa tuanya,” jelasnya.
Ketiga, Pengembangan Dan Penguatan Sistem Keuangan (P2SK) harusnya mengatur pengelolaan jaminan pensiun ASN (PNS dan PPPK) ke BPJS Ketenagakerjaan.
“Putusan MK menjadi celah masuk percepatan pengalihan pensiun PNS ke BPJS ketenagakerjaan. Putusan MK membatalkan tahun 2029 berarti pengalihan harus segera dilakukan, karena UU BPJS hanya membolehkan 2 BPJS menyelenggarakan Jaminan Sosial, tidak mengenal Taspen,” terang Timboel Siregar.
Keempat, Pengembangan Dan Penguatan Sistem Keuangan (P2SK) harus merevisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), yang selama ini tidak memberikan jaminan pensiun kepada Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
“Jadi Pekerja PPPK harus didaftarkan ke jaminan pensiun di BPJS Ketenagakerjaan di RUU P2SK. Demikian juga, Non ASN wajib didaftarkan ke Jaminan Pensiun,” tegas Timboel Siregar.
Kelima, Jaminan Pensiun yang mengatur usia mendapatkan manfaat pensiun di PP No. 45 tahun 2015 harus direvisi di UU P2SK, dengan memastikan perlakuan yang sama dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS), yaitu pasca pensiun langsung dapat manfaat pensiun.
Keenam, PNS dan PPPK serta Non ASN juga harus mendapatkan perlakuan sama atas Program Jaminan Hari Tua (JHT), seperti pekerja swasta, yaitu Pemerintah sebagai pemberi kerja harus mengiur 3,7 persen, dan PNS/PPPK dan Non ASN mengiur 2 persen. Dan program JHT bagi PNS dan PPPK serta Non ASN dikelola BPJS Ketenagakerjaan.
Dia berharap, semoga Pemerintah dan DPR lebih memperhatikan kepentingan rakyat, dengan memberikan ruang lebih luas kepada masyarakat memberikan masukan sesuai amanat Pasal 96 UU No 13 tahun 2022 tentang Perubahan Kedua UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan.
“Semoga Pemerintah dan DPR tidak memaksakan pembahasan kedua RUU tersebut dengan instan dan selesai di akhir Desember 2022,” tandas Timboel Siregar.***