Ada Larangan Umat Kristiani Beribadah, Aktivis Kristen: Itu ‘Kejahatan Konstitusi’, Saatnya Negara Bertindak Tegas

Belakangan ini kembali marak pelarangan-pelarangan beribadah dan merayakan Hari Raya Natal bagi Umat Kristiani di sejumlah Daerah di Indonesia.

Pelarangan-pelarangan beribadah yang dilakukan Penguasa Lokal dan atau segelintir orang di Daerah terkait, dibungkus dengan berbagai dalil.

Seperti persoalan ijin mendirikan Rumah Ibadah, alasan belum adanya persetujuan sejumlah orang di wilayah setempat, hingga isu-isu Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA), yang sering dikembangbiakkan untuk tujuan-tujuan menebar kebencian di antara sesama Anak Bangsa Indonesia.

Aktivis Kristen, Jhon Roy Pangibulan Siregar, menyampaikan, kondisi-kondisi seperti itu menandakan, Negara Indonesia sering kali abai untuk menegakkan Konstitusi Negara Republik Indonesia, yaitu Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945).

Sehingga, lanjut Jhon Roy P Siregar, semakin hari semakin bertingkah buruk dengan seenaknya menginjak-injak Konstitusi NKRI yakni UUD 1945.

“Apalagi jika hal itu ternyata dilakukan oknum Penguasa Lokal seperti Bupati, Walikota atau bahkan Gubernur, maka tindakan melarang umat Kristiani beribadah dan merayakan Hari Raya Natal itu adalah Kejahatan Konstitusional. Sudah saatnya Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui aparaturnya, segera menindak tegas oknum-oknum tersebut. Sebab, tindakan mereka itu dapat dikategorikan sebagai Kejahatan Konstitusi,” tutur Jhon Roy P Siregar, dalam siaran persnya Sabtu (17/12/2022).

Jhon Roy P Siregar yang merupakan Ketua Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia Provinsi DKI Jakarta (DPD GAMKI DKI Jakarta) demisioner itu menjelaskan, Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia yakni UUD 1945 telah dengan jelas dan tegas menyebut adanya kemerdekaan memeluk agama dan menjalankan ibadah bagi setiap pemeluk agama yang diakui oleh Negara Indonesia.

Siregar menjabarkan, kebebasan beragama serta saling menghormati antarumat beragama secara tegas tercantum dalam konstitusi Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 Ayat 1 dan 2 sebagai berikut:

Ayat 1 : Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Ayat 2 : Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Selain itu, Jhon Roy P Siregar yang merupakan mantan fungsionaris Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI) itu mengingatkan, Negara Indonesia sebagai Negara Berdaulat, telah menegaskan bahwa Indonesia memiliki enam agama resmi yang diakui, yakni Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu, dan ditambah satu lagi Aliran Kepercayaan.

Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan gugatan penghayat kepercayaan di Indonesia, terkait Undang-Undang Administrasi Kependudukan pada November 2017 lalu. Sebagai konsekuensinya, Pemerintah wajib melakukan banyak perubahan.

Hal itu dikabulkan melalui upaya judicial review terhadap Pasal 61 ayat 1 dan Pasal 64 ayat 1 Undang-Undang (UU) Administrasi Kependudukan karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD). Mahkamah Konstitusi mengabulkan seluruh tuntutan komunitas penghayat kepercayaan dari seluruh Indonesia.

“Perlu diingatkan, Indonesia bukanlah Negara Agama, tetapi Negara Beragama. Ada 6 agama resmi yang diakui oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia, ditambah satu lagi aliran kepercayaan, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi. Artinya, semua agama dan aliran kepercayaan yang diakui oleh Negara Indonesia itu wajib dilindungi dan merdeka memeluk agama dan menjalankan ibadah agamanya,” tutur Jhon Roy P Siregar.

Jhon Roy P Siregar yang juga fungsionaris Dewan Pimpinan Pusat Partisipasi Kristen Indonesia (DPP Parkindo) itu menegaskan, apabila ada Pejabat di tingkat Nasional, dan di tingkat Daerah yang malah tidak mematuhi Konstitusi yakni UUD 1945, maka bukankah hal itu kejahatan konstitusi yang disengaja?

Apalagi, lanjut Jhon Roy P Siregar yang juga aktif di Perkumpulan Tim Advokat Penegakan Hukum dan Keadilan (TAMPAK) itu, jika sekelas Bupati atau Wali Kota malah berdalih mengenai Perijinan untuk mendirikan Gereja bagi Umat Kristiani menjadi alasan melarang Pemeluk Kristen untuk beribadah, maka Bupati dan atau Wali Kota seperti itu sudah sangat layak ditindak tegas.

Foto: Aktivis Kristen, Jhon Roy P Siregar. (Dok)
Foto: Aktivis Kristen, Jhon Roy P Siregar. (Dok)

“Sebab, seharusnya sejak mereka dilantik dan atau disumpah, kan bersumpah untuk setia kepada Pancasila, dan melaksanakan Konstitusi Negara Republik Indonesia, yaitu Undang Undang Dasar 1945. Lah, kok malah enggak tahu tugas dan kewajibannya untuk menyediakan dan mengupayakan rumah ibadah bagi Warga Negara Indonesia?” tutur Jhon Roy P Siregar.

Karena itu, lanjut Siregar, hendaknya pelanggaran-pelanggaran konstitusi yakni UUD 1945, dalam hal memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaan warga Negara, yang diakui di Indonesia, sudah termasuk dalam kategori Kejahatan Konstitusi.

“Karena itu, Negara wajib bertindak tegas kepada setiap pelanggar Konstitusi,” tandas Siregar.

Sebelumnya, heboh mengenai adanya pelarangan bagi umat Kristiani untuk merayakan Ibadah Natal di Lebak, Provinsi Banten.

Bupati Lebak, Iti Octavia Jayabaya, membantah telah melarang umat Kristen di Kecamatan Maja, Lebak, Banten untuk menggelar ibadah Natal.

“Saya sudah jelaskan berkali-kali, saya tidak pernah melarang orang beribadah,” kata Iti dalam rekaman suara yang diterima dari Ketua Bappilu DPP Partai Demokrat Andi Arief, Sabtu (17/12/2022).

Iti menjelaskan, imbauan bagi umat Kristen beribadah Natal di gereja yang berada di kawasan Rangkasbitung bukan untuk melarang mereka ibadah Natal di Lebak. Ia menyayangkan muncul anggapan dirinya telah melarang peribadatan Natal.

Menurutnya, sampai saat ini belum ada gereja di daerah Maja. Oleh sebab itu, warga yang beragama Kristen selama ini banyak yang beribadah di rumah-rumah maupun ruko.

“Sebetulnya dari pengembang sendiri juga keberatan itu digunakan, karena ruko-ruko dan rumah itu sudah jadi milik pribadi. Nah, menanggapi hal itu, kami harus lakukan kewaspadaan dini, jadi difasilitasi oleh Kemenag dengan FKUB dan BKSAG Kabupaten Lebak,” katanya.

“Jadi ini kan harus ada ijin lingkungan, di situ peruntukannya adalah ruko dan permukiman yang tidak boleh secara undang-undang itu ijinnya harus sesuai,” ujar Iti menambahkan.

Iti lantas meminta umat Kristen di Maja untuk segera mengurus perijinan pendirian gereja di kawasan itu. Menurutnya, sampai saat ini belum ada yang pihak yang mengajukan ijin pembangunan gereja.

“Makanya saya tantangin untuk segera urus izin untuk rumah peribadatan, termasuk saya bilang Maja ini akan besar penduduknya, ada 10 ribu unit rumah di situ, tolong fasilitasi semua agama di situ rumah peribadatannya, saya malah sarankan gitu,” kata Iti.

Lebih lanjut, Iti menyarankan umat Kristen di Maja untuk beribadah Natal di Rangkasbitung semata-mata demi alasan keamanan.

Iti khawatir aparat kepolisian tak mampu menjaga keamanan masyarakat yang beribadah Natal di rumah atau ruko.

“Makanya di Maja itu kita tak bisa awasi. Tim pengamanan tak bisa awasi karena itu bukan rumah ibadah. Makanya saya sarankan ibadahnya di Rangkas saja. Supaya tadi itu untuk kondusivitas dan keamanan,” ujarnya.

Iti mengklaim Lebak adalah kawasan yang ramah bagi semua golongan agama. Ia juga menegaskan Pemda Lebak terus berupaya menjaga toleransi kehidupan beragama di masyarakat.

“Saya juga akan hadir Natal bersama 27 Desember nanti. Saya diundang di wihara, saya datang. Jadi jangan persoalan ini hanya untuk menguntungkan sendiri yang memecah belah bangsa,” katanya.

Sebelumnya diberitakan umat Kristen di Kecamatan Maja, Lebak, Banten sempat diminta untuk menjalankan ibadah Natal di Kota Rangkasbitung. Hal ini dikarenakan belum ada gereja di wilayah Maja.

Permintaan itu disampaikan Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya saat rapat koordinasi pengamanan Natal dan tahun baru 2023.

“Di Maja itu kan belum berdiri gereja yang ijinnya legal. Tadi disampaikan oleh Pak Camat akan ada kebaktian dan saya sampaikan bahwa hasil rapat sebelumnya kita akan mengijinkan beribadah di sana (ruko) tetapi kalau memang ijin gerejanya sudah keluar. Jadi kalau ijinnya, peruntukannya buat ruko, maka tidak diperbolehkan. Jadi silakan beribadah, kami tidak menghalangi, tapi beribadah di gereja-gereja yang sudah ada,” kata Iti, Jumat (16/12/2022) dikutip dari detik.com.***