Berbagai Alasan PDI-P Dukung Pemilu Dengan Proporsional Tertutup Yang Ditentang 8 Parpol Lain

Delapan partai politik (parpol) Parlemen telah menyatakan sikapnya untuk menolak pemilu dengan sistem proporsional tertutup.

Oleh karenanya, menyisakan PDI-P yang ingin agar sistem pemilu proporsional terbuka diubah atau dikembalikan lagi dengan proporsional tertutup.

Saat ini ada kemungkinan wacana Pemilu 2024 dilakukan melalui proporsional tertutup. Sebab, ada 6 pihak yang mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) soal Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terkait sistem proporsional terbuka.

Salah satu penggugat adalah Demas Brian Wicaksono yang merupakan kader PDI-P.

Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto menyampaikan berbagai alasannya mendukung proporsional tertutup, apa saja?

Liberalisasi dan oligarki politik

Hasto mengatakan, pemilu dengan sistem proporsional terbuka telah melahirkan liberalisasi dan oligarki politik.

Menurutnya, para calon legislatif (caleg) juga kian bersaing dengan bebas. Sementara sistem proporsional tertutup dianggapnya tak melanggar konstitusi.

“Sistem pemilu dengan proporsional tertutup sesuai dengan perintah konstitusi, di mana peserta pemilihan legislatif (pileg) adalah partai politik (parpol),” ungkap Hasto dalam konferensi pers virtual Refleksi Akhir Tahun secara daring, Jumat (30/12/2022).

Tak hanya itu, ia mengatakan, sistem proporsional tertutup membuat parpol bakal memberikan penghargaan pada kadernya yang telah bekerja dengan baik.

Begitu pun, proporsional tertutup dinilai menjadi solusi untuk menekan kecurangan dan biaya pemilu.

Parlemen dikuasai pengusaha ketimbang pakar

Terbaru, Hasto mengklaim saat ini DPR banyak dikuasai oleh kader parpol yang memiliki latar belakang sebagai pengusaha.

Hal itu, menurutnya terjadi karena kader yang memiliki kemampuan khusus atau merupakan seorang ahli di bidang tertentu tak mampu memenuhi biaya politik pemilihan legislatif (pileg) yang tinggi.

“Bahkan, ada yang habis sampai Rp 100 miliar untuk menjadi anggota dewan, miliar untuk menjadi anggota dewan,” kata Hasto ditemui wartawan di kawasan Johar Baru, Jakarta Pusat, Minggu (8/1/2023).

Hasto mengungkapkan, situasi itu juga menjadi alasan PDI-P mendukung pileg dengan proporsional tertutup. Artinya konstituen hanya mencoblos gambar parpol, bukan nama-nama caleg.

Namun, ia menegaskan bahwa keputusan itu berada di tangan Mahkamah Konstitusi saat ini.

“Masalah nanti apapun yang diputuskan Mahkamah Konstitusi kami sekali lagi PDI P bukan pihak yang punya legal standing melakukan judicial review,” ujarnya.

Operasi politik-hukum paling mudah

Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic) Ahmad Khoirul Umam menilai upaya mengubah sistem pemilu terbuka melalui MK adalah upaya mengambilalih kontrol kekuasaan nasional yang paling mudah.

Menurutnya, ada upaya untuk membatasi kekuasaan hanya untuk segelintir pihak.

Sebab, saat ini lebih banyak parpol yang dirugikan jika pemilu berlangsung dengan sistem proporsional tertutup.

“Jika putusan MK bisa dibajak oleh selera kekuasaan, lalu putusan MK keluar pada Februari 2023 misalnya, maka hal itu akan mengacaukan semua tahapan, persiapan, dan strategi internal partai-partai politik menuju Pemilu 2024,” kata Umam.

Tak hanya itu, dalam pandangan Umam, proporsional tertutup kontraproduktif dengan semangat reformasi dan situasi demokrasi di Indonesia.

Sebab, esensinya sistem proporsional terbuka diberlakukan agar masyarakat bisa memilih sendiri figur yang memperjuangkan aspirasinya.

Dengan sistem proporsional tertutup, konstituen tak bisa mengetahui siapa wakilnya di Parlemen.

“Di sisi lain, jika praktik money politics menjadi concern utama pengembalian sistem proporsional tertutup, maka sistem itu justru akan mengokohkan kooptasi oligarki dan hegemoni politik,” ujar Umam.