Mengenai Restorative Justice, Kejaksaan Agung Tegaskan Sebagai Kewenangan Yang Diberikan Undang-Undang

Kejaksaan Agung Republik Indonesia menegaskan kewenangannya dalam hal Restorative Justice (RJ) atau Keadilan Restoratif, sebagai kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang kepada Kejaksaan.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum), Ketut Sumedana, menjelaskan, selama ini banyak pihak mengira bahwa Restorative Justice yang dilakukan Kejaksaan sebagai Program, padahal tidak.

Restorative Justice itu bukan program, tetapi itu adalah kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang,” tutur Ketut Sumedana, dalam keterangan persnya, Kamis (19/01/2023).

Ketut Sumedana menyinggung terkait pemberitaan berbagai media massa tentang adanya dugaan praktik jual beli Keadilan Restoratif atau Restorative Justice, dan juga oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyinggung kasus pemerkosaan di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM).

Menurut Ketut, Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Puspenkum Kejagung) perlu memberikan klarifikasi dan pemahaman kepada masyarakat, agar pelaksanaan Keadilan Restoratif atau Restorative Justice demi penegakan hukum humanis tidak tercoreng dengan pemberitaan yang minor dan tendensius.

“Walaupun secara spesifik tidak menunjuk langsung kepada lembaga Kejaksaan,” ujarnya.

Dikatakan Ketut Sumedana, penerapan Keadilan Restoratif atau Restorative Justice berdasarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan ketentuan Hukum Acara yaitu Pasal 139 dan 140 KUHAP, yakni Penuntut Umum mempunyai kewenangan dominus litis terhadap perkara yang sudah dinyatakan lengkap (P.21) dan telah dilaksanakan Tahap II oleh Penyidik.

Selanjutnya, kewenangan tersebut ditegaskan kembali dalam Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 30C huruf c yaitu turut serta dan aktif dalam penanganan perkara pidana yang melibatkan saksi dan korban serta proses rehabilitasi, restitusi dan kompensasinya.

Kemudian, ditegaskan kembali dalam Pasal 34A yaitu untuk kepentingan penegakan hukum, Jaksa dan/atau Penuntut Umum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan dan kode etik.

Dalam penerapan Keadilan Restoratif atau Restorative Justice oleh Kejaksaan, lanjut Ketut Sumedana, hal yang paling utama adalah adanya upaya perdamaian dari kedua belah pihak dan korban/keluarganya memberikan maaf kepada pelaku tindak pidana.

Penerapan Keadilan Restoratif atau Restorative Justice dalam suatu kasus atau perkara yang sudah Tahap II, memiliki batasan limitatif yang harus dipenuhi berdasarkan ketentuan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020, yaitu:

Pertama, pelaku baru pertama kali melakukan tindak pidana (bukan residivis).

Kedua, ancaman hukumannya tidak lebih dari 5 tahun.

Ketiga, kerugian yang diderita korban tidak lebih dari Rp 2.500.000.

Keempat, dan yang paling penting, tindak pidana yang dilakukan tidak berdampak luas ke masyarakat.

“Dari persyaratan tersebut, kasus pemerkosaan atau pelecehan seksual termasuk eksploitasi seksual, tidak termasuk dalam kategori kasus yang bisa dihentikan berdasarkan Keadilan Restoratif,” terang Ketut Sumedana.

Di samping itu, kata dia, kasus pemerkosaan menimbulkan traumatis berkepanjangan terhadap korban juga berdampak luas kepada masyarakat.

Karena itu, Kejaksaan sangat apresiasi terhadap kritik dan saran pelaksanaan Keadilan Restoratif atau Restorative Justice di setiap Daerah, dalam rangka perbaikan dan fungsi pengawasan terhadap jajaran Kejaksaan yang menyalahgunakan kewenangan terhadap pelaksanaan Keadilan Restoratif atau Restorative Justice di Daerah.

“Untuk itu, kami berharap, jika masyarakat menemukan adanya tindakan indisipliner, ketidakprofesionalan, penyalahgunaan kewenangan dan tindakan-tindakan tercela yang dapat mencederai rasa keadilan dan mengganggu berbagai kegiatan masyarakat, mohon kiranya dilaporkan kepada Pimpinan Kejaksaan,” pinta Ketut Sumedana.

“Apabila laporan tersebut mengandung kebenaran, kami pastikan akan ditindak dan tidak segan-segan akan dipidanakan,” imbuhnya.

“Sebab penegakan hukum humanis yang kami tunjukkan kepada masyarakat jangan sampai disalahgunakan,” katanya lagi.

Ketut Sumedana menambahkan, penerapan Keadilan Restoratif atau Restorative Justice sudah memperoleh pengakuan dan penghargaan internasional, serta dampaknya sangat luar biasa di masyarakat, yakni dapat mengurangi resistensi di masyarakat, dan memberikan efek jera sebagai sanksi sosial di masyarakat.

“Serta dapat mengurangi biaya yang tinggi dalam penegakan hukum. Oleh karenanya, penerapan Keadilan Restoratif atau Restorative Justice harus kita jaga bersama demi penegakan hukum yang lebih baik dan humanis,” tandas Ketut Sumedana.***