Anggaran Mencapai Rp 500 Triliun Hanya Dihabiskan Untuk Rapat-Rapat Dan Studi Banding. Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) : Rincian Anggaran Pengentasan Kemiskinan Tidak Transparan.
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA), mengiyakan bahwa lebih dari Rp 500 triliun Anggaran Pengentasan Kemiskinan habis hanya untuk rapat-rapat dan studi banding.
Sampai kini, transparansi rincian anggaran pengentasan kemiskinan masih terus dipertanyakan.
Oleh karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta turun tangan untuk segera melakukan proses penyelidikan terhadap penggunaan Anggaran Pengentasan Kemiskinan itu.
Sekjen FITRA, Misbah Hasan, menegaskan, menanggapi pernyataan Menteri PAN-RB, Abdullah Azwar Anas, terkait dengan alokasi anggaran pengentasan kemiskinan yang mencapai Rp 500 triliun dan banyak digunakan untuk rapat-rapat dan studi banding, Seknas FITRA menyampaikan seharusnya hal itu sudah diatasi sejak lama.
Namun, faktanya hingga kini, tidak pernah ada transparansi mengenai rincian anggaran pengentasan kemiskinan itu.
“Persoalan ini bukan hal baru, tetapi persoalan klasik yang terjadi setiap tahun. MenPAN-RB pasti sangat tahu persoalan ini karena beliau pernah menjabat Kepala Daerah,” tutur Misbah Hasan, dalam keterangan persnya, Senin (30/01/2023).
Misbah Hasan menjelaskan, dalam postur APBN/APBD, Belanja Negara/Daerah dibagi menjadi tiga jenis, yakni Belanja Pegawai, Belanja Barang/Jasa atau belanja habis pakai, dan Belanja Modal.
Belanja barang/jasa inilah yang digunakan untuk rapat-rapat dan studi banding dalam bentuk belanja makan/minum, perjalanan dinas, akomodasi hotel, dan lain-lain.
“Bila dipersentasekan, belanja pegawai dan belanja barang atau jasa porsinya sangat besar di setiap Kementerian dan lembaga,” ujarnya.
Menurutnya, belanja barang/jasa ini tersembunyi dalam nama program atau kegiatan yang seakan-akan untuk pengentasan kemiskinan.
“Banyak nama program atau kegiatan yang bagus-bagus dan seakan-akan berpihak kepada masyarakat miskin, namun ketika kita telusuri (tracking) lebih dalam hingga ke rincian ouput atau level komponen, ujung-ujungnya untuk belanja makan minum, perjalanan dinas, akomodasi yang sebagian besar dinikmati birokrasi,” bebernya.
“Anggaran yang betul-betul menyasar kepada masyarakat miskin dan kelompok-kelompok rentan seperti perempuan miskin, perempuan kepala keluarga miskin dan penyandang disabilitas, lansia anak yang terlantar, dan seterusnya sangat minim,”
terangnya.
Misbah Hasan juga menekankan, akurasi data penduduk miskin atau keluarga miskin merupakan salah satu problem mendasar yang menyebabkan gagalnya pelaksanaan program pengentasan kemiskinan di Indonesia.
Menurutnya, tidak jarang setiap Kementerian dan Lembaga memiliki data masing-masing, sehingga data antar Kementerian dan Lembaga tidak sama bahkan sampai ke tingkat Pemda bahkan Pemdes.
Contoh kasus adalah belum selesainya sinkronisasi Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dengan data Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek).
“Strategi pengentasan kemiskinan kurang efektif. Hal ini terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang merilis data kemiskinan Indonesia pada September 2022 sebanyak 26,36 juta orang. Justru naik 0,20 juta orang atau 0,03 persen poin dibanding Maret 2022. Dengan jumlah penduduk miskin ekstrem mencapai 10,7 juta orang,” terangnya.
Oleh karena itu, Seknas FITRA merekomendasikan beberapa hal, satu, Pemerintah harus jujur menyampaikan rincian atau detail informasi anggaran pengentasan kemiskinan hingga ke level rincian output dan komponen, bukan informasi glondongan.
“Transparansi rincian anggaran ini penting agar masyarakat dapat melakukan pengawasan terhadap efektivitas penggunaan anggaran pengentasan kemiskinan,” jelasnya.
Dua, Pemerintah perlu melakukan sinkronisasi program pengentasan kemiskinan dari Pusat, Daerah, hingga Desa agar tidak terjadi tumpang tindih program antara Kementerian dan Lembaga, Pemda dan Pemdes.
“Kelompok-kelompok rentan seperti perempuan miskin, perempuan kepala keluarga miskin, penyandang disabilitas, lansia, dan anak yang membutuhkan perlindungan khusus harus menjadi prioritas utama,” lanjut Misbah Hasan.
Tiga, Pemerintah perlu melakukan integrasi Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dengan data Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) dari Desa sampai Pusat, agar tidak ada perbedaan data.
“Termasuk melakukan update data kemiskinan secara berkala. Upaya ini diharapkan mengatasi inclution error dan exclution error data kemiskinan yang sering kali terjadi,” katanya.
Empat, melakukan pengawasan secara intensif penggunaan anggaran pengentasan kemiskinan.
“Pengawasan dapat dilakukan oleh Aparat pengawasan Intern Pemerintah (APIP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan melibatkan organisasi masyarakat sipil untuk mengantisipasi terjadinya tindak pidana korupsi,” tandas Misbah Hasan.***