Dapat Ancaman Karena Bongkar Dugaan Praktik Mafia Tanah, Pencari Keadilan Ngadu Ke Menteri Hadi Tjahjanto Dan Menkopolhukam Mahfud MD

Dikarenakan hendak membongkar dugaan praktik mafia tanah di Kantor Pertanahan (Kantah) Kota Jakarta Pusat, seorang pencari keadilan diduga diancam dan diintimidasi.

Korban pun mengadukan nasibnya ke Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Republik Indonesia, Hadi Tjahjanto, dan kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD.

Bambang Djaya, pencari keadilan yang sekaligus korban dari dugaan praktik mafia tanah di Kantor Pertanahan (Kantah) Kota Jakarta Pusat, membeberkan, dirinya dan keluarganya mendapat ancaman dan intimidasi dari seseorang yang diduga sebagai kaki tangan mafia tanah di Kantor Pertanahan (Kantah) Kota Jakarta Pusat.

“Saya dan keluarga saya, diancam akan dipenjarakan, karena kami menuntut hak kami di Kantor Pertanahan (Kantah) Kota Jakarta Pusat,” ungkap Bambang Djaya, kepada wartawan, Rabu (15/02/2023).

Bambang Djaya menyebut, ancaman dan intimidasi itu berasal dari seseorang yang diduga sebagai kaki tangan mafia tanah di Kantor Pertanahan (Kantah) Kota Jakarta Pusat, yang juga sekaligus sebagai lawan mereka dalam sengketa kepemilikan tanah.

“Dari seseorang berinisial AW. Ini kami mau mengadukan hal ini kepada Bapak Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Hadi Tjahjanto, dan kepada Menkopolhukam, Bapak Mahfud MD,” ujar Bambang Djaya.

Sebelumnya, para pencari keadilan yang merupakan korban dari praktik Mafia Tanah murka dengan para petugas dan pegawai mau pun pejabat di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN), yang diduga sebagai bagian dari kaki tangan mafia tanah yang bermain dari dalam instansi.

Pimpinan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Tanah (Satgas Anti Mafia Tanah) didesak segera membersihkan aparaturnya di dalam institusi yang diduga sebagai bagian dari para mafia tanah itu sendiri.

Seperti peristiwa yang terjadi di Kantor Pertanahan (Kantah) Kota Jakarta Pusat, pada Kamis, 09 Februari 2023, para pencari keadilan merasa dimanipulasi dan dipermain-mainkan oleh para oknum petugas, serta membuat keterangan-keterangan palsu kepada korban yang datang mencari keadilan atas tanahnya yang dirampas oleh pihak lawan.

Bambang Djaya, perwakilan keluarga korban, menyebut, praktik mafia tanah itu sendiri lebih parah terjadi di dalam instansi BPN.

“Kami sampai gebrak-gebrak meja, karena kami merasa dimanipulasi dan dipermain-mainkan oleh petugas BPN di Kantor BPN Jakarta Pusat, pada Kamis, 09 Februari 2023 kemarin. Kami menduga kuat, kaki tangan mafia tanah ada di dalam instansi itu. Meskipun pimpinan-pimpinan dari tingkat Pusat mengatakan akan memberantas mafia tanah, faktanya di dalam instansi itu sendiri yang terus bercokol praktik mafianya,” tutur Bambang Djaya kepada wartawan, di Jakarta, Sabtu (11/02/2023).

Bambang Djaya membeberkan, pada Kamis (09/02/2023) pagi, mereka mendatangi Kantor Pertanahan (Kantah) Kota Jakarta Pusat, di Jalan Selaparang No.Kav. 8, Gunung Sahari Selatan, Kemayoran, Jakarta Pusat.

Bambang Djaya dan keluarga sudah mengantongi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan juga Perintah dari Badan Pertanahan Nasional Pusat (BPN) untuk segera mengeksekusi tanah mereka di wilayah Tanah Abang, Jakarta Pusat, untuk dikembalikan kepada pemilik yang sah, yakni pihak keluarga Bambang Djaya, yaitu Herman Djaya.

“Kami ribut besar jadinya, sampai gebrak-gebrak meja, karena kami menduga ada praktik mafia yang mempengaruhi kinerja BPN, sehingga tidak melaksanakan Keputusan Pengadilan dan juga Perintah yang diberikan oleh BPN Pusat,” ungkap Bambang Djaya.

Di Kantor Pertanahan (Kantah) Kota Jakarta Pusat itu, lanjut Bambang Djaya, mereka diperhadapkan dengan seseorang yang mengaku bernama Timbul, sebagai Kepala Seksi Bidang Penanganan Sengketa.

“Kepala Seksi bernama Timbul itu mengeluarkan berbagai macam alasan, yang intinya tidak akan melaksanakan putusan PTUN dan Perintah BPN Pusat,” ujarnya.

Bambang Djaya menduga, Timbul itu disuruh oleh kaki tangan mafia tanah yang berada di instansi itu untuk cari uang dari para korban. Sedangkan, Kepala Kantor Pertanahan (Kakantah) Kota Jakarta Pusat, Sammy Adrian, menurut Bambang Djaya, diduga berperan sebagai kaki tangan mafia tanah di belakang layar di kantor itu.

“Kita menduga kuat, Kepala Seksi bernama Timbul itu, kita duga dipasang sebagai ujung tombak buat nyari duit, sedangkan Sammy (Kakantah-Red) itu main di belakang layar,” ungkapnya.

Jadi, kata dia lagi, Bambang Djaya dan keluarga pergi ke Kantor Pertanahan (Kantah) Kota Jakarta Pusat itu bersama staf mereka bernama Zondra.

“Sebab, Zondra sudah sejak sebulan lalu dijanjikan oleh Kepala Seksi bernama Timbul itu untuk diselesaikan pada hari itu. Eh, enggak tahunya, dengan alasan yang tidak jelas, Timbul berdalih dan membuat alasan-alasan palsu. Yang intinya, mereka tidak mau melaksanakan penyelesaian surat yang diputuskan oleh BPN Pusat, dan tidak mau mengubah nama disertifikat menjadi nama abang saya, Herman Djaya,” tutur Bambang Djaya.

Diungkapkan Bambang Djaya, posisi tanah milik Herman Djaya telah inkrah sejak tahun 2019 melalui Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) agar segera mengubah nama pemilik menjadi nama Herman Djaya. Namun, pihak Kantor Pertanahan (Kantah) Kota Jakarta Pusat

“Tetapi tidak dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan (Kantah) Kota Jakarta Pusat. Sedangkan, mengapa pada tahun 2014, dengan mudahnya sertifikat kami dibatalkan, tanpa alasan yang aktual,” cetusnya.

Karena itu, Bambang Djaya dan keluarga merasa ada kejanggalan yang sangat serius dalam kinerja Kantor Pertanahan (Kantah) Kota Jakarta Pusat.

“Semua ini seakan by design, seolah pesanan dari pihak pemilik lama selaku penjual,” katanya.

Bambang Djaya menegaskan, pihaknya meminta agar dicoret atau dihapus saja nama pemilik lama dari buku kepemilikan yang ada di Kantor Pertanahan (Kakantah) Kota Jakarta Pusat.

“Dan kembalikan lagi menjadi atas nama Pemilik yang sah yang sesuai dengan Keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara, yaitu atas nama Herman Djaya,” ujarnya.

Sebab, ditambahkan Bambang Djaya, Surat Perintah dari Kantor Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), yang ditandatangani oleh Dirjen Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan, melalui Direktur Penanganan Perkara Pertanahan, Iljas Tedjo Prijono, pada tanggal 04 Januari 2023, dengan tegas memerintahkan kepada Kantor Pertanahan (Kantah) Kota Jakarta Pusat, agar mencabut sertifikat pengganti atas nama AW menjadi Herman Djaya.

“Disurat itu sangat jelas memerintahkan Kantor Pertanahan (Kantah) Kota Jakarta Pusat untuk segera mengganti nama AW menjadi Herman Djaya,” ujarnya.

Sejak dijanjikan oleh Timbul dari Kantor Pertanahan (Kantah) Kota Jakarta Pusat, pihak Bambang Djaya menunggu hingga pada Kamis, 09 Februari 2023 kemarin, namun tak kunjung juga ditindaklanjuti oleh Kantor Pertanahan (Kantah) Kota Jakarta Pusat.

“Padahal, hari-hari kami disuruh menunggu. Tunggu dan tunggu, sampai hari ini. Tidak jelas. Mau masuk ke Atasan mau pun pihak yang lebih berwenang, malah kami dipersulit. Alasannya, tidak boleh semua orang masuk ke dalam ruangan Kepala Kantor Pertanahan (Kakantah) Kota Jakarta Pusat dan berjumpa pejabat yang berwenangnya. Ujung-ujungnya, ya memang tidak mau ketemu untuk menyelesaikan persoalan kami, dan tidak bisa ditemui, semua seolah sudah diatur oleh pihak tertentu,” terang Bambang Djaya melanjutkan.

Menurut Bambang Djaya, perilaku pejabat dan petugas di Kantor Pertanahan (Kantah) Kota Jakarta Pusat itu, semakin memperlihatkan bahwa praktik mafia tanah terus diberi celah untuk menyusun siasat atau strategi, dengan cara menghambat korban untuk memperoleh hak.

“Informasi yang kami peroleh, hal seperti itu sudah biasa dilakukan oleh pihak Kantor Pertanahan (Kantah) Kota Jakarta Pusat, sebagai pesanan pihak lawan agar menyusun waktu sehingga bisa membuat siasat atau perlawanan-perlawanan baru kepada kami sebagai pemilik yang sah,” ungkapnya.

“Biasanya, kata mereka, hal seperti ini disebut Permainan Sabun. Mereka bisa melakukan segala cara,” lanjut Bambang Djaya.

Karena dihalang-halangi untuk bertemu dengan pimpinannya, lanjut Bambang Djaya, mereka berupaya hendak menerobos masuk untuk berjumpa Kepala Kantor Pertanahan (Kakantah) Kota Jakarta Pusat, Sammy Adrian, di ruangan.

“Namun, kami tidak bisa masuk ke dalam. Alasannya, kalau mau ketemu Kakantah harus pakai surat resmi audiensi. Sudah seperti sekelas menteri saja. Jadi kami terjadi pertengkaran dengan Timbul dan stafnya bernama Wisnu. Sampai gebrak-gebrak meja. Lalu petugas Satpam menarik kami ke luar,” tutur Bambang Djaya.

Bambang Djaya menjelaskan, persoalan tanah yang dialami keluarganya. Pada bulan Januari 2023, staf keluarga Bambang Djaya bernama Zondra sudah pergi ke BPN Pusat dan ke Kantor Pertanahan Kota Jakarta Pusat, untuk mengurus penyelesaian hak mereka sesuai putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

“Kepada Zondra, pihak BPN menjanjikan penyelesaian sertifikasi yang pernah diubah nama kepemilikannya dari Herman Djaya, kakak saya, kepada  AW (Azis Welang-Red), tanpa alasan yang aktual,” ungkap Bambang Djaya.

Sedangkan Keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sudah memutuskan Hak Kepemilikan adalah Herman Djaya.

“Anehnya, pihak BPN tidak melaksanakan Keputusan PTUN itu, dan tidak diubah namanya agar menjadi kepemilikan atas nama Herman Djaya,” jelasnya.

Sehingga, lanjut Bambang Djaya, sampai diterbitkannya Kantor Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), yang ditandatangani oleh Dirjen Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan, melalui Direktur Penanganan Perkara Pertanahan, Iljas Tedjo Prijono, pada tanggal 04 Januari 2023, yang memerintahkan agar segera dikembalikan nama kepemilikan yang sah sesuai Keputusan-Keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Keputusan Pengadilan Negeri (PN), Keputusan Pengadilan Tinggi (PT), Keputusan Mahkamah Agung (MA), bahkan Keputusan Peninjauan Kembali (PK), yang sesuai dengan nama Herman Djaya.

“Kami, Bapak Herman Djaya, sudah dinyatakan sebagai pemilik yang sah, melalui keputusan-keputusan itu semua, mulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Keputusan MA, Keputusan PK, dan Keputusan PTUN. Tanah itu atas nama Herman Djaya,” tuturnya lagi.

Anehnya, lanjut Bambang Djaya, hanya oleh sikap sepihak petugas di Kantor Pertanahan Kota Jakarta Pusat, semua keputusan resmi itu tidak digubris.

“Hanya janji-janji saja akan ditindaklanjuti dari BPN Pusat. Anehnya lagi, Kepala Kantor Pertanahan(Kakantah) Kota Jakarta Pusat, Sammy Adrian jelas mengetahui persoalan ini, tetapi seolah tutup telinga dan tutup mata atas perilaku bawahannya. Ujung-ujungnya, bisa jadi diarahkan agar rekan kami untuk kolusi dengan diminta menyediakan sejumlah uang untuk mengurus perubahan nama itu,” beber Bambang Djaya.

Padahal, tambahnya, pihaknya juga sudah membawa dan memperlihatkan Surat yang dikeluarkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Republik Indonesia, Hadi Tjahjanto, sejak Agustus 2022 lalu, yang juga direspon dengan Surat dari Dirjen Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan, melalui Direktur Penanganan Perkara Pertanahan, Iljas Tedjo Prijono, pada tanggal 04 Januari 2023.

“Dan sejak tahun 2019 silam, sudah ada Perintah Eksekusi dari PTUN untuk mengembalikan nama kepemilikan yang sah kepada Herman Djaya, tetapi tidak pernah dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kota Jakarta Pusat,” ujarnya.

Karena itu, Bambang Djaya dan para pencari keadilan yang merupakan korban dari mafia tanah, mempertanyakan kinerja para pejabat di tingkat bawah kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Republik Indonesia, Hadi Tjahjanto, dan kepada Dirjen Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan, melalui Direktur Penanganan Perkara Pertanahan, Iljas Tedjo Prijono, pada tanggal 04 Januari 2023.

“Apakah ini yang dinamakan permainan mafia tanah? Hingga Perintah Bapak Menteri dan Bapak Dirjen juga dilawan dan tidak dilaksanakan?” tandas Bambang Djaya.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada respon dari pihak Kantor Pertanahan (Kantah) Kota Jakarta Pusat.***