Ada yang aneh dalam vonis yang dijatuhkan kepada Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E, dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Bekas Ajudan Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo itu hanya divonis penjara 1 tahun 6 bulan atau 1,5 tahun.
Aktivis Tim Advokat Penegakan Hukum dan Keadilan (TAMPAK), Jhon Roy P Siregar, menyarankan, agar Jaksa segera melakukan proses banding terhadap vonis rendah yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) terhadap Richard Eliezer Pudihang Lumiu itu.
“Ini ada yang aneh dalam vonis Richard Eliezer Pudihang Lumiu, masa cuma satu setengah tahun?” tutur Jhon Roy P Siregar, saat berbincang dengan wartawan, di Jakarta, Rabu (15/02/2023).
Siregar menduga, Majelis Hakim PN Jaksel merasa tertekan dan mungkin terindimidasi oleh pembentukan opini yang dilakukan sekelompok masyarakat pendukung Richard Eliezer Pudihang Lumiu.
Seolah-olah, Richard Eliezer Pudihang Lumiu itu adalah pahlawan. Padahal, Richard Eliezer Pudihang Lumiu adalah penembak dan pembunuh Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat, atas perintah bosnya Ferdy Sambo.
“Jika karena gerakan pendukung Richard Eliezer Pudihang Lumiu yang gencar membentuk opini publik, seolah-olah Richard Eliezer Pudihang Lumiu adalah pahlawan dalam pembunuhan berencana itu, lantas Majelis Hakim menjatuhkan vonis rendah, maka alangkah kacaunya penegakan hukum di Republik ini,” tutur Jhon Roy P Siregar.
Perlu di-review, lanjut Siregar, sejak awal, rencana pembunuhan terhadap Brigadir J itu sudah diketahui juga oleh Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu. Bahkan, dalam chat Almarhum Brigadir J, sudah disampaikan oleh Brigadir J bahwa dia diancam akan dibunuh oleh Kuat Ma’ruf Cs.
Kemudian, yang mau mengikuti perintah menembak Brigadir J adalah Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu. Sedangkan Bripka Ricky Rizal Wibowo, menolak untuk menembak.
“Jadi, kalau alasannya, jika tidak mengikuti perintah Ferdy Sambo maka mereka akan ditembak, terbantahkan. Sebab, Bripka RR sendiri menolak untuk menembak Brigadir J. Tidak ada tuh Ricky Rizal ditembak mati oleh FS,” jelasnya.
Menurut Jhon Roy P Siregar, Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu juga turut merancang Pembunuhan Berencana terhadap Brigadir J. Sebab, semua skenario pembunuhan, melibatkan keikutsertaan Richard Eliezer Pudihang Lumiu.
“Jadi, kurang tepat alasan bahwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu hanya mengikuti perintah FS. Dari rangkaian fakta yang terungkap di persidangan, Richard Eliezer Pudihang Lumiu juga terlibat merancang pembunuhan berencana itu. Secara sadar dia tahu dan mau melakukannya,” tuturnya.
Kemudian, jika disebut karena Richard Eliezer Pudihang Lumiu sudah membantu mengungkap pembunuhan berencana itu sebagai Justice Collaborator (JC), rasanya terlalu mengada-ada.
Sebab, hampir semua keterangan dan fakta-fakta persidangan, menunjukkan bahwa terbongkarnya pembunuhan berencana itu adalah karena kinerja Penyidik, Jaksa dan Hakim.
“Saya tidak melihat ada peran signifikan Richard Eliezer Pudihang Lumiu sebagai Justice Collaborator dalam kasus ini. Semua diselidiki dan disidik dan dibuktikan oleh penyidik, Jaksa dan Hakim kok,” ujar Siregar lagi.
Lagi pula, kata dia, jangan lupa juga, Richard Eliezer Pudihang Lumiu itu akan dikasih imbalan Rp 1 miliar oleh Ferdy Sambo, karena mau menembak dan membunuh Brigadir J.
“Sial aja kasus pembunuhan ini terungkap, makanya Richard Eliezer Pudihang Lumiu jadi mengakui ada tawaran Rp 1 miliar dari Ferdy Sambo terhadap dirinya. Kalau enggak, ya bakal senyap kian, wah bakalan senang-senang tuh Richard Eliezer Pudihang Lumiu menikmati kinerja pembunuhannya,” jelas Siregar lagi.
JPU menuntut Richard Eliezer Pudihang Lumiu dengan tuntutan hukuman penjara 12 tahun. Namun, Majelis Hakim PN Jaksel, hanya menjatuhkan vonis 1,5 tahun penjara kepada Richard Eliezer Pudihang Lumiu.
“Karena itu, Jaksa harus segera melakukan banding, atas rendahnya vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim terhadap Richard Eliezer Pudihang Lumiu. Mestinya vonis di atas 12 tahun, ini malah melorot ke 1,5 tahun,” tandas Siregar.
Pada pembacaan Tuntutan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut hukuman 12 tahun penjara kepada Richard Eliezer Pudihang Lumiu (Bharada E) Terdakwa pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J).
Menurut Jaksa, Richard terbukti melakukan kerja sama dengan terdakwa lainnya menghilangkan nyawa Brigadir Yosua.
“Berdasarkan uraian di atas terlihat adanya hubungan kerja sama antara Richard Eliezer Pudihang Lumiu terdakwa dan saksi Ferdy Sambo, saksi Putri Candrawathi, saksi Ricky Rizal Wibowo, saksi Kuat Maruf, dalam berkas terpisah yakni niat menghilangkan nyawa korban Nofriansyah Yosua Hutabarat tersebut sebagai yang disebut mens rea (sikap batin pelaku pada saat melakukan perbuatan atau niat jahatnya),” ujar Jaksa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (18/1/2023).
Kata Jaksa, di depan persidangan tidak ditemukan adanya alasan pada diri Richard yang dapat menghapus unsur kesalahan dan pertanggungjawaban pidana. Baik itu alasan pemaaf maupun alasan pembenar terhadap dakwaan primair yang telah jaksa buktikan pada analisa yuridis, sehingga terdakwa harus dipidana.
“Berdasarkan uraian tersebut di atas kami Jaksa Penuntut Umum dalam perkara atas nama terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan memperhatikan ketentuan Undang-Undang menuntut agar majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa dan mengadili perkara atas nama terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu memutuskan, satu, menyatakan terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu dengan identitas tersebut di atas terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana merampas nyawa orang secara bersama-sama sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam dakwaan primair melanggar pasal 340 KUHP junto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUH Pidana,” kata Jaksa.
“Dua, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu dengan pidana penjara selama 12 tahun dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan dipotong masa penangkapan,” tegas Jaksa.
Mendengar tuntutan 12 tahun penjara ini, para pendukung Richard Eliezer Pudihang Lumiu yang hadir di persidangan sempat berteriak kecewa, sehingga hakim sempat minta pengunjung tenang dan menghargai persidangan.
“Kepada para pengunjung untuk tetap tenang,” ujar Wahyu Imam Santoso Ketua Majelis Hakim.
Karena tidak terkendali, akhirnya hakim minta JPU menghentikan pembacaan tuntutan dan sidang diskors sementara. Hakim juga minta pendukung Eliezer dikeluarkan dari ruang sidang.
“Saudara Jaksa Penuntut Umum, sidang dinyatakan di skors. Petugas keamanan, mohon bantuan untuk mengeluarkan para pendukung, tolong dikeluarkan,” tegas Hakim.
“Kepada para pengunjung apabila tidak bisa tenang maka akan kami skors, dan sidang akan kami tunda,” imbuhnya.
Skors pun akhirnya dicabut, dan sidang kembali dilanjutkan.
Sebelum menjatuhkan tuntutan, JPU membacakan hal-hal yang memberatkan tuntutan terhadap Eliezer.
Hal-hal yang memberatkan, terdakwa merupakan eksekutor yang menyebabkan hilangnya nyawa korban Nofriansyah Yosua Hutabarat. Perbuatan terdakwa telah menimbulkan duka mendalam bagi keluarga korban. Akibat perbuatan terdakwa menimbulkan keresahan, kegaduhan yang meluas di masyarakat.
Sedangkan, hal-hal yang meringankan, terdakwa merupakan saksi pelaku yang bekerja sama untuk membongkar kejahatan ini. Terdakwa belum pernah dihukum, berlaku sopan dan kooperatif di persidangan. Terdakwa menyesali perbuatannya serta perbuatan terdakwa telah dimaafkan oleh keluarga korban.
Sebagaimana diberitakan, Majelis Hakim PN Jaksel dalam persidangan membacakan vonis untuk Ferdy Sambo dengan menjatuhkan pidana hukuman mati dalam kasus pembunuhan Brigadir Yosua.
Sambo diyakini jaksa melanggar Pasal 340 KUHP junto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sambo juga diyakini melanggar pasal 49 junto pasal 33 Undang-Undang No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik junto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Jaksa menilai tidak ada alasan pemaaf maupun pembenar atas perbuatan yang dilakukan Sambo. Jaksa menyatakan Sambo harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Sedangkan Putri Candrawathi, yang merupakan istri dari Ferdy Sambo, yang juga Terdakwa dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat divonis hukuman penjara 20 tahun oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Putri Candrawathi dengan pidana penjara selama 20 tahun,” ujar Hakim Ketua Wahyu Iman Santoso di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Jakarta, Senin (13/2/2023).
Hakim menyatakan Putri terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 340 subsider Pasal 338 junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam memaparkan pertimbangan, Hakim Anggota Alimin Ribut Sujono mengatakan majelis hakim meyakin Putri Candrawathi menghendaki pembunuhan Brigadir Yosua di rumah dinas Ferdy Sambo di Duren Tiga.
Selain itu, hakim juga menyimpulkan bahwa Putri Candrawati telah terbukti turut serta melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua.
Dalam menyusun putusan tersebut, hakim mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan.
Hal-hal yang memberatkan, salah satunya, Putri Candrawati sebagai istri Ferdy Sambo dan pengurus Bhayangkari sudah seharusnya menjadi tauladan bagi para Bhayangkari.
Selain itu, hakim juga menilai bahwa Putri Candrawatii tidak berterus terang di dalam persidangan dan perbuatannya menimbulkan kerugian yang besar.
“Akibat perbuatan terdakwa menimbulkan kerugian yang besar,” ucapnya.
Lebih lanjut, majelis hakim juga menilai bahwa tidak ada hal-hal yang meringankan. Vonis ini lebih berat apabila dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum pada Rabu (18/1/2023).
Sebelumnya, tim jaksa penuntut umum menuntut terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, Putri Candrawathi untuk menjalani pidana penjara selama delapan tahun dalam sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Putri Candrawathi dengan pidana penjara selama delapan tahun,” ucap Jaksa Penuntut Umum Didi Aditya Rustanto saat membacakan tuntutan di hadapan Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta.
Majelis Hakim telah membacakan vonis terhadap para terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir N Yosua Hutabarat. Vonis tertinggi dijatuhkan hakim terhadap mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo, yakni hukuman mati, dan vonis terendah dijatuhkan ke Bharada Richard Eliezer yakni 1,5 tahun penjara.
Sidang vonis kasus pembunuhan berencana Brigadir Yosua digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sejak Senin (13/2/2023).
Terdakwa yang pertama kali dibacakan vonisnya ialah Ferdy Sambo, disusul vonis untuk istri Sambo, Putri Candrawathi.
Sidang vonis kemudian berlanjut pada Selasa (14/2/2023). Ada dua terdakwa yang vonisnya dibacakan, yakni sopir Sambo, Kuat Ma’ruf, dan eks ajudan Sambo, Bripka Ricky Rizal.
Pada Rabu (15/2/2023), giliran Bharada Richard Eliezer yang divonis. Eliezer menjadi terdakwa terakhir dalam pembunuhan berencana Yosua yang divonis.
Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menjatuhkan vonis pidana penjara selama 15 tahun kepada sopir keluarga mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo, Kuat Ma’ruf.
Majelis Hakim menilai Kuat Ma’ruf elah terbukti turut serta dalam tindak pidana pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
“15 tahun penjara,” kata Ketua Majelis Hakim, Wahyu Iman Santoso saat membacakan amar putusan di PN Jakarta Selatan, Selasa (14/2/2023).
Dalam menjatuhkan putusan, hakim turut mempertimbangkan sejumlah keadaan memberatkan dan meringankan untuk Kuat.
Hal memberatkan, perbuatan Kuat yakni berbelit dalam persidangan dan dianggap berlaku tidak sopan. Sedangkan hal meringankan yakni Kuat Ma’ruf masih memiliki tanggungan keluarga.
Kuat Ma’ruf dinilai terbukti melanggar Pasal 340 KUHP junto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Putusan ini lebih berat daripada tuntutan jaksa penuntut umum yang menginginkan Kuat dihukum dengan pidana delapan tahun penjara.
Pembunuhan terhadap Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat pada Jumat, 8 Juli 2022 di rumah dinas Sambo nomor 46 di Kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Tindak pidana itu turut melibatkan Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E, dan Ricky Rizal atau Bripka RR.
Adapun Sambo telah divonis dengan pidana mati dan Putri divonis pidana 20 tahun penjara. Sementara Bharada E dan Ricky Rizal masih menunggu sidang pembacaan putusan.
Sedangkan untuk mantan ajudan Ricky Rizal Wibowo, Majelis Hakim menjatuhkan vonis 13 tahun penjara.
Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menilai, polisi berpangkat Brigadir Kepala (Bripka) itu terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah turut serta melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum (JPU).
“Mengadili, menyatakan terdakwa Ricky Rizal Wibowo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana,” ujar Ketua Majelis Hakim, Wahyu Iman Santoso dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (14/2/2023).
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 13 tahun,” ucapnya melanjutkan.
Adapun vonis ini lebih berat daripada tuntutan JPU di Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan. Jaksa menuntut Bripka Ricky Rizal dengan pidana delapan tahun penjara.
Dalam kasus ini, Ricky Rizal menjadi terdakwa bersama Ferdy Sambo dan istrinya, Putri Candrawathi, dan rekan sesama ajudan, Richard Eliezer atau Bharada E.
Asisten rumah tangga (ART) sekaligus sopir keluarga Ferdy Sambo, Kuat Ma’ruf, turut menjadi terdakwa dalam kasus ini.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai Ricky Rizal terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap Brigadir J yang direncanakan terlebih dahulu.
Ajudan yang ditempatkan Sambo untuk menjaga keluarganya di Magelang ini dinilai telah melanggar Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) junto Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP.
Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi telah lebih dulu menjalani sidang putusan. Eks Kadiv Propam Polri itu divonis pidana mati oleh majelis hakim. Sementara itu, Putri Candrawathi divonis pidana 20 tahun penjara.
Putusan tersebut jauh melampaui Tuntutan Jaksa. Sebelumnya, Sambo diganjar tuntutan penjara seumur hidup dan Putri delapan tahun penjara.
Sementara itu, Kuat Ma’ruf divonis 15 tahun penjara, lebih berat daripada tuntutan jaksa yaitu delapan tahun penjara.
Adapun pembunuhan ini dilatarbelakangi oleh pernyataan Putri Candrawathi yang mengaku telah dilecehkan oleh Brigadir J di rumah Ferdy Sambo di Magelang, Jawa Tengah, Kamis (7/7/2022).
Pengakuan yang belum diketahui kebenarannya itu lantas membuat Sambo yang kala itu masih polisi dengan pangkat jenderal bintang dua marah hingga menyusun strategi untuk membunuh Brigadir J.
Akhirnya, Brigadir J pun tewas dieksekusi dengan cara ditembak dua-tiga kali oleh Bharada E di rumah dinas Ferdy Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan, Jumat (8/7/2022).
Untuk bekas ajudan Richard Eliezer Pudihang Lumiu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis hanya satu tahun enam bulan penjara, atau 1,5 tahun.
Majelis Hakim menyatakan hanya ada satu hal yang memberatkan Richard, yakni Majelis Hakim menilai hubungan yang akrab dengan korban tidak dihargai oleh Terdakwa sehingga akhirnya Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Adapun hal meringankan antara lain, majelis hakim menyatakan Richard Eliezer sebagai saksi pelaku yang bekerja sama, bersikap sopan di persidangan dan belum pernah dihukum.
Majelis Hakim juga melihat Richard yang masih muda dan diharapkan mampu memperbaiki kelak di kemudian hari.
“Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak mengulangi perbuatannya lagi dan keluarga korban Nofriansyah Yosua Hutabarat telah memaafkan perbuatan terdakwa,” kata Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu, 15 Februari 2023.
Richard Eliezer Pudihang Lumiu, terdakwa eksekutor Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J, divonis satu tahun enam bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, karena terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu dengan pidana penjara selama 1 tahun dan 6 bulan,” kata Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso.
Vonis ini lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum. Pada Rabu, 18 Januari 2023, Richard Eliezer dituntut jaksa 12 tahun penjara. Dalam surat tuntutannya, jaksa menyimpulkan Richard Eliezer telah memenuhi unsur perbuatan Pembunuhan Berencana sebagaimana yang telah didakwakan dalam dakwaan Pasal 340 KUHP junto pasal 55 ayat ke-1 KUHP.
“Kami Jaksa Penuntut Umum menuntut majelis hakim agar menyatakan Richard Eliezer terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana merampas nyawa orang secara bersama-sama sebagaimana diatur dan diancam pidana dakwaan Primer melanggar Pasal 340 junto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP Pidana. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Richard Eliezer dengan pidana penjara selama 12 tahun dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan, dipotong masa penahanan,” kata Jaksa saat membacakan tuntutan.
Sebelum membacakan tuntutan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengatakan peran Richard Eliezer Pudihang Lumiu sebagai eksekutor pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J menjadi pemberat tuntutan 12 tahun.
“Hal yang memberatkan adalah karena terdakwa merupakan eksekutor yang mengakibatkan hilangnya nyawa korban Nofriansyah Yosua Hutabarat,” kata jaksa sebelum membacakan tuntutan di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Selain itu hal memberatkan lain karena perbuatan terdakwa Richard Eliezer menimbulkan duka mendalam bagi keluarga korban dan menimbulkan keresahan, serta kegaduhan yang meluas di masyarakat.
Adapun hal yang meringankan adalah mempertimbangkan Richard sebagai saksi pelaku dan keluarga Yosua telah memaafkan Richard. Selain itu, Richard dianggap kooperatif selama persidangan.
Selama di persidangan Richard Eliezer mengaku Ferdy Sambo memerintahkannya menembak Yosua saat ia dipanggil ke lantai tiga rumah pribadi Sambo di Jalan Saguling 3, Jakarta Selatan, 8 Juli 2022.
Richard mengatakan saat itu dia dipanggil Ricky, yang menyampaikan ia dipanggil Ferdy Sambo ke lantai tiga rumah pribadi Ferdy Sambo di Jalan Saguling 3.
Ferdy Sambo menanyakan apakah ia mengetahui soal kejadian di Magelang. Lalu Sambo menangis. Richard mengaku tidak tahu. Tidak berapa lama Putri Candrawathi masuk dan duduk di samping suaminya di sofa panjang.
Di sana Ferdy Sambo mengaku istrinya, Putri Candrawathi, dilecehkan oleh Yosua. Kemudian Ferdy Sambo menangis dan Putri menangis di hadapan Richard.
“Memang kurang ajar anak itu! Sudah menghina Saya! Dia sudah menghina harkat martabat saya! Tidak ada gunanya pangkat ini,” kata Richard sambil menirukan perkataan atasannya yang sambil memegang tanda pangkat di kerahnya.
Ferdy Sambo kemudian menyampaikan perintah ke Richard agar dia membunuh Yosua.
Sebab, kata dia, kalau dia sendiri yang membunuh tidak akan ada yang membela. Ferdy Sambo pun menyampaikan rencananya.
“Jadi gini Chad, lokasinya di 46 (rumah dinas). Nanti di 46 itu Ibu dilecehkan oleh Yosua, terus Ibu teriak kamu respons, terus Yosua ketahuan. Yosua tembak kamu, kau tembak balik Yosua, Yosua yang meninggal,” kata Richard menirukan perintah Ferdy Sambo saat menjadi saksi mahkota di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa, 13 Desember 2022.
Richard mengatakan saat itu Ferdy Sambo menyampaikan jelas perintahnya dan memastikan Putri Candrawathi mendengarnya. Kemudian Ferdy menjelaskan kembali skenarionya dan menguatkan Richard.
“Sudah kamu enggak usah takut karena posisinya itu pertama kamu bela Ibu. Yang kedua kamu bela diri karena dia nembak duluan,” kata Richard mengulangi omongan Ferdy Sambo.
Richard mengaku Putri Candrawathi saat itu sempat berbicara dengan Ferdy Sambo. Meski terdengar samar, Richard mengaku mendengar Putri menyinggung soal CCTV dan sarung tangan.
Richard bahkan melihat Ferdy Sambo sudah mengenakan sarung tangan hitam dan memberikannya sekotak amunisi 9 milimeter, serta memerintahkannya mengisi amunisi pistol Glock-17 miliknya.
Para Terdakwa bersama korban lalu pergi ke rumah dinas Ferdy Sambo di Kompleks Duren Tiga Nomor 46, Jakarta Selatan, dengan alibi isolasi mandiri untuk Covid-19.
Eksekusi Yosua berlangsung antara pukul 17.11-17.16 WIB ketika Ferdy Sambo tiba di rumah dinas Kompleks Polri Duren Tiga. Ferdy Sambo memerintahkan Kuat untuk memanggil Yosua ke dalam saat ia berada di taman belakang.
Tiba-tiba, Ferdy Sambo memegang leher belakang Yosua dan mendorongnya hingga berada di depan tangga lantai satu. Yosua berhadapan dengan Ferdy Sambo dan Richard Eliezer, sementara Kuat Ma’ruf berada di belakang Ferdy Sambo dan Ricky Rizal bersiaga apabila Yosua melawan.
Kuat Ma’ruf juga menyiapkan pisau yang ia bawa dari Magelang untuk berjaga-jaga apabila Yosua melawan. Adapun Putri Candrawathi berada di kamar lantai satu yang hanya berjarak tiga meter dari posisi Brigadir J.
Richard Eliezer menjadi terdakwa terakhir yang divonis dalam perkara pembunuhan berencana ini. Pada 14 Februari, Asisten Rumah Tangga Ferdy Sambo, Kuat Ma’ruf divonis hukuman 15 tahun penjara oleh Majelis Hakim atas keterlibatannya dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Yosua.
Pada hari yang sama, mantan ajudan Ferdy Sambo, Ricky Rizal divonis 13 tahun penjara. Vonis keduanya lebih berat dari tuntutan jaksa, yaitu delapan tahun penjara.
Sementara itu, pada 13 Februari majelis hakim memvonis istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi dengan hukuman 20 tahun penjara. Vonis ini lebih berat dari tuntutan jaksa delapan tahun penjara.
Pada hari yang sama pula Ferdy Sambo divonis hukuman mati. Ia dinilai majelis hakim terbukti merencanakan secara matang pembunuhan terhadap ajudannya sendiri, Yosua, termasuk bersalah merintangi penyidikan untuk menutupi pembunuhannya. Vonis mati Ferdy Sambo ini lebih berat dari tuntutan jaksa, yakni penjara seumur hidup.***