Orang-Orang Batak Apresiasi Vonis Hukuman Mati Terhadap Ferdy Sambo

Orang-orang Batak yang tergabung dalam Paguyuban Horas Bangso Batak (HBB), mengapresiasi vonis hukuman mati yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) terhadap bekas Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo, atas pembunuhan berencana yang dilakukan terhadap ajudannya Brigadir J atau Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.

Ketua Umum Horas Bangso Batak (HBB), Lamsiang Sitompul, SH.,MH mengapresiasi keputusan Majelis Hakim tersebut. Hukuman seberat-beratnya dinilai pantas dan tidak bertentangan dengan sistem peradilan di Indonesia.

“Kita sebagai bagian dari masyarakat yang merindukan keadilan dalam penanganan kasus ini, mengapresiasi vonis yang ditetapkan Majelis Hakim dan lebih berat dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang hanya hukuman penjara seumur hidup. Ini adalah harapan kita,” ujar Lamsiang di Medan pasca penetapan vonis yang dibacakan di PN Jaksel, seperti dalam siaran pers yang diterima, Rabu (15/02/2023).

Menurutnya, sanksi hukum yang ditetapkan majelis hakim adalah harapan baru bagi dunia peradilan di Indonesia. Menjatuhkan hukuman seberat-beratnya kepada pelaku yang telah merekayasa penghilangan nyawa seseorang yang merupakan ajudannya sendiri.

Sebagaimana dalam vonis, hal yang memberatkan hukuman bagi Terdakwa adalah pembunuhan dengan korban yang merupakan ajudan sejak tiga tahun terakhir.

Menurut Lamsiang, ada banyak faktor sebagai alasan dan dasar bagi pihaknya untuk mendukung keputusan majelis hakim terhadap mantan Kepala Divisi Propam Polri tersebut.

“Jika dijatuhi hukuman seumur hidup, maka masih ada peluang terdakwa untuk kembali ke masyarakat yang bisa saja akan melakukan kejahatan yang lebih besar lagi,” ujarnya.

Lamsiang mengatakan, tindak kriminal yang telah menghilangkan nyawa ini sangat menyakiti hati masyarakat. Selain ada rekayasa kasus, ada juga Tindakan penghambatan proses penyidikan dengan menghilangkan barang bukti. Kemudian, kasus ini adalah luar biasa karena dalam perencanaannya melibatkan banyak orang untuk melumpuhkan satu orang.

“Bahkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM mendapat cibiran dari masyarakat, yang mana Komnas HAM seolah-olah seperti Pengacara dari pelaku. Komnas Perempuan pun dengan terbuka seperti melindungi ibu PC sebagai korban, jadi ini sangat aneh,” ujarnya.

Untuk itulah, majelis hakim agar lebih mementingkan aspek keadilan dalam mengambil keputusan bagi terdakwa lainnya.

Sebagaimana diberitakan, majelis hakim PN Jaksel dalam persidangan membacakan vonis untuk Ferdy Sambo dengan menjatuhkan pidana hukuman mati dalam kasus pembunuhan Brigadir Yosua.

Sambo diyakini jaksa melanggar Pasal 340 KUHP junto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sambo juga diyakini melanggar pasal 49 junto pasal 33 Undang-Undang No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik junto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Jaksa menilai tidak ada alasan pemaaf maupun pembenar atas perbuatan yang dilakukan Sambo. Jaksa menyatakan Sambo harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Sedangkan Putri Candrawathi, yang merupakan isteri dari Ferdy Sambo, yang juga Terdakwa dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat divonis hukuman penjara 20 tahun oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Putri Candrawathi dengan pidana penjara selama 20 tahun,” ujar Hakim Ketua Wahyu Iman Santoso di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Jakarta, Senin (13/2/2023).

Hakim menyatakan Putri terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 340 subsider Pasal 338 junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Dalam memaparkan pertimbangan, Hakim Anggota Alimin Ribut Sujono mengatakan majelis hakim meyakin Putri Candrawathi menghendaki pembunuhan Brigadir Yosua di rumah dinas Ferdy Sambo di Duren Tiga.

Selain itu, hakim juga menyimpulkan bahwa Putri Candrawati telah terbukti turut serta melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua.

Dalam menyusun putusan tersebut, hakim mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan.

Hal-hal yang memberatkan, salah satunya, Putri Candrawati sebagai istri Ferdy Sambo dan pengurus Bhayangkari sudah seharusnya menjadi tauladan bagi para Bhayangkari.

Selain itu, hakim juga menilai bahwa Putri Candrawatii tidak berterus terang di dalam persidangan dan perbuatannya menimbulkan kerugian yang besar.

“Akibat perbuatan terdakwa menimbulkan kerugian yang besar,” ucapnya.

Lebih lanjut, majelis hakim juga menilai bahwa tidak ada hal-hal yang meringankan. Vonis ini lebih berat apabila dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum pada Rabu (18/1/2023).

Sebelumnya, tim jaksa penuntut umum menuntut terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, Putri Candrawathi untuk menjalani pidana penjara selama delapan tahun dalam sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Putri Candrawathi dengan pidana penjara selama delapan tahun,” ucap Jaksa Penuntut Umum Didi Aditya Rustanto saat membacakan tuntutan di hadapan Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta.

Majelis hakim telah membacakan vonis terhadap para terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir N Yosua Hutabarat. Vonis tertinggi dijatuhkan hakim terhadap mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo, yakni hukuman mati, dan vonis terendah dijatuhkan ke Bharada Richard Eliezer yakni 1,5 tahun penjara.

Sidang vonis kasus pembunuhan berencana Brigadir Yosua digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sejak Senin (13/2/2023).

Terdakwa yang pertama kali dibacakan vonisnya ialah Ferdy Sambo, disusul vonis untuk istri Sambo, Putri Candrawathi.

Sidang vonis kemudian berlanjut pada Selasa (14/2/2023). Ada dua terdakwa yang vonisnya dibacakan, yakni sopir Sambo, Kuat Ma’ruf, dan eks ajudan Sambo, Bripka Ricky Rizal.

Pada Rabu (15/2/2023), giliran Bharada Richard Eliezer yang divonis. Eliezer menjadi terdakwa terakhir dalam pembunuhan berencana Yosua yang divonis.

Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menjatuhkan vonis pidana penjara selama 15 tahun kepada sopir keluarga mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo, Kuat Ma’ruf.

Majelis Hakim menilai Kuat Ma’ruf elah terbukti turut serta dalam tindak pidana pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

“15 tahun penjara,” kata Ketua Majelis Hakim, Wahyu Iman Santoso saat membacakan amar putusan di PN Jakarta Selatan, Selasa (14/2/2023).

Dalam menjatuhkan putusan, hakim turut mempertimbangkan sejumlah keadaan memberatkan dan meringankan untuk Kuat.

Hal memberatkan, perbuatan Kuat yakni berbelit dalam persidangan dan dianggap berlaku tidak sopan. Sedangkan hal meringankan yakni Kuat Ma’ruf masih memiliki tanggungan keluarga.

Kuat Ma’ruf dinilai terbukti melanggar Pasal 340 KUHP junto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Putusan ini lebih berat daripada tuntutan jaksa penuntut umum yang menginginkan Kuat dihukum dengan pidana delapan tahun penjara.

Pembunuhan terhadap Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat pada Jumat, 8 Juli 2022 di rumah dinas Sambo nomor 46 di Kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan.

Tindak pidana itu turut melibatkan Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E, dan Ricky Rizal atau Bripka RR.

Adapun Sambo telah divonis dengan pidana mati dan Putri divonis pidana 20 tahun penjara. Sementara Bharada E dan Ricky Rizal masih menunggu sidang pembacaan putusan.

Sedangkan untuk mantan ajudan Ricky Rizal Wibowo, Majelis Hakim menjatuhkan vonis 13 tahun penjara.

Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menilai, polisi berpangkat brigadir kepala (bripka) itu terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah turut serta melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum (JPU).

“Mengadili, menyatakan terdakwa Ricky Rizal Wibowo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana,” ujar ketua majelis hakim Wahyu Iman Santoso dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (14/2/2023).

“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa  dengan pidana penjara selama 13 tahun,” ucapnya melanjutkan.

Adapun vonis ini lebih berat daripada tuntutan JPU di Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan. Jaksa menuntut Bripka Ricky Rizal dengan pidana delapan tahun penjara.

Dalam kasus ini, Ricky Rizal menjadi terdakwa bersama Ferdy Sambo dan istrinya, Putri Candrawathi, dan rekan sesama ajudan, Richard Eliezer atau Bharada E.

Asisten rumah tangga (ART) sekaligus sopir keluarga Ferdy Sambo, Kuat Ma’ruf, turut menjadi terdakwa dalam kasus ini.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai Ricky Rizal terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap Brigadir J yang direncanakan terlebih dahulu.

Ajudan yang ditempatkan Sambo untuk menjaga keluarganya di Magelang ini dinilai telah melanggar Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) junto Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP.

Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi telah lebih dulu menjalani sidang putusan. Eks Kadiv Propam Polri itu divonis pidana mati oleh majelis hakim. Sementara itu, Putri Candrawathi divonis pidana 20 tahun penjara.

Putusan tersebut jauh melampaui tuntutan jaksa. Sebelumnya, Sambo diganjar tuntutan penjara seumur hidup dan Putri delapan tahun penjara.

Sementara itu, Kuat Ma’ruf divonis 15 tahun penjara, lebih berat daripada tuntutan jaksa yaitu delapan tahun penjara.

Adapun pembunuhan ini dilatarbelakangi oleh pernyataan Putri Candrawathi yang mengaku telah dilecehkan oleh Brigadir J di rumah Ferdy Sambo di Magelang, Jawa Tengah, Kamis (7/7/2022).

Pengakuan yang belum diketahui kebenarannya itu lantas membuat Sambo yang kala itu masih polisi dengan pangkat jenderal bintang dua marah hingga menyusun strategi untuk membunuh Brigadir J.

Akhirnya, Brigadir J pun tewas dieksekusi dengan cara ditembak dua-tiga kali oleh Bharada E di rumah dinas Ferdy Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan, Jumat (8/7/2022).

Untuk bekas ajudan Richard Eliezer Pudihang Lumiu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis hanya satu tahun enam bulan penjara, atau 1,5 tahun.

Majelis hakim menyatakan hanya ada satu hal yang memberatkan Richard, yakni majelis hakim menilai hubungan yang akrab dengan korban tidak dihargai oleh terdakwa sehingga akhirnya Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat.

Adapun hal meringankan antara lain, majelis hakim menyatakan Richard Eliezer sebagai saksi pelaku yang bekerja sama, bersikap sopan di persidangan dan belum pernah dihukum.

Majelis hakim juga melihat Richard yang masih muda dan diharapkan mampu memperbaiki kelak di kemudian hari.

“Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak mengulangi perbuatannya lagi dan keluarga korban Nofriansyah Yosua Hutabarat telah memaafkan perbuatan terdakwa,” kata Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu, 15 Februari 2023.

Richard Eliezer Pudihang Lumiu, terdakwa eksekutor Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J, divonis satu tahun enam bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, karena terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana.

“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu dengan pidana penjara selama 1 tahun dan 6 bulan,” kata Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso.

Vonis ini lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum. Pada Rabu, 18 Januari 2023, Richard Eliezer dituntut jaksa 12 tahun penjara. Dalam surat tuntutannya, jaksa menyimpulkan Richard Eliezer telah memenuhi unsur perbuatan Pembunuhan Berencana sebagaimana yang telah didakwakan dalam dakwaan Pasal 340 KUHP junto pasal 55 ayat ke-1 KUHP.

“Kami jaksa penuntut umum menuntut majelis hakim agar menyatakan Richard Eliezer terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana merampas nyawa orang secara bersama-sama sebagaimana diatur dan diancam pidana dakwaan Primer melanggar Pasal 340 Junto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP Pidana. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Richard Eliezer dengan pidana penjara selama 12 tahun dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan, dipotong masa penahanan,” kata jaksa saat membacakan tuntutan.

Sebelum membacakan tuntutan, jaksa penuntut umum mengatakan peran Richard Eliezer Pudihang Lumiu sebagai eksekutor pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J menjadi pemberat tuntutan 12 tahun.

“Hal yang memberatkan adalah karena terdakwa merupakan eksekutor yang mengakibatkan hilangnya nyawa korban Nofriansyah Yosua Hutabarat,” kata jaksa sebelum membacakan tuntutan di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Selain itu hal memberatkan lain karena perbuatan terdakwa Richard Eliezer menimbulkan duka mendalam bagi keluarga korban dan menimbulkan keresahan, serta kegaduhan yang meluas di masyarakat.

Adapun hal yang meringankan adalah mempertimbangkan Richard sebagai saksi pelaku dan keluarga Yosua telah memaafkan Richard. Selain itu, Richard dianggap kooperatif selama persidangan.

Selama di persidangan Richard Eliezer mengaku Ferdy Sambo memerintahkannya menembak Yosua saat ia dipanggil ke lantai tiga rumah pribadi Sambo di Jalan Saguling 3, Jakarta Selatan, 8 Juli 2022.

Richard mengatakan saat itu dia dipanggil Ricky, yang menyampaikan ia dipanggil Ferdy Sambo ke lantai tiga rumah pribadi Ferdy Sambo di Jalan Saguling 3.

Ferdy Sambo menanyakan apakah ia mengetahui soal kejadian di Magelang. Lalu Sambo menangis. Richard mengaku tidak tahu. Tidak berapa lama Putri Candrawathi masuk dan duduk di samping suaminya di sofa panjang.

Di sana Ferdy Sambo mengaku istrinya, Putri Candrawathi, dilecehkan oleh Yosua. Kemudian Ferdy Sambo menangis dan Putri menangis di hadapan Richard.

“Memang ajar anak itu! Sudah menghina Saya! Dia sudah menghina harkat martabat saya! Tidak ada gunanya pangkat ini,” kata Richard sambil menirukan perkataan atasannya yang sambil memegang tanda pangkat di kerahnya.

Ferdy Sambo kemudian menyampaikan perintah ke Richard agar dia membunuh Yosua.

Sebab, kata dia, kalau dia sendiri yang membunuh tidak akan ada yang membela. Ferdy Sambo pun menyampaikan rencananya.

“Jadi gini Chad, lokasinya di 46 (rumah dinas). Nanti di 46 itu Ibu dilecehkan oleh Yosua, terus Ibu teriak kamu respons, terus Yosua ketahuan. Yosua tembak kamu, kau tembak balik Yosua, Yosua yang meninggal,” kata Richard menirukan perintah Ferdy Sambo saat menjadi saksi mahkota di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa, 13 Desember 2022.

Richard mengatakan saat itu Ferdy Sambo menyampaikan jelas perintahnya dan memastikan Putri Candrawathi mendengarnya. Kemudian Ferdy menjelaskan kembali skenarionya dan menguatkan Richard.

“Sudah kamu enggak usah takut karena posisinya itu pertama kamu bela Ibu. Yang kedua kamu bela diri karena dia nembak duluan,” kata Richard mengulangi omongan Ferdy Sambo.

Richard mengaku Putri Candrawathi saat itu sempat berbicara dengan Ferdy Sambo. Meski terdengar samar, Richard mengaku mendengar Putri menyinggung soal CCTV dan sarung tangan.

Richard bahkan melihat Ferdy Sambo sudah mengenakan sarung tangan hitam dan memberikannya sekotak amunisi 9 milimeter, serta memerintahkannya mengisi amunisi pistol Glock-17 miliknya.

Para terdakwa bersama korban lalu pergi ke rumah dinas Ferdy Sambo di Kompleks Duren Tiga Nomor 46, Jakarta Selatan, dengan alibi isolasi mandiri untuk Covid-19.

Eksekusi Yosua berlangsung antara pukul 17.11-17.16 WIB ketika Ferdy Sambo tiba di rumah dinas Kompleks Polri Duren Tiga. Ferdy Sambo memerintahkan Kuat untuk memanggil Yosua ke dalam saat ia berada di taman belakang.

Tiba-tiba, Ferdy Sambo memegang leher belakang Yosua dan mendorongnya hingga berada di depan tangga lantai satu. Yosua berhadapan dengan Ferdy Sambo dan Richard Eliezer, sementara Kuat Ma’ruf berada di belakang Ferdy Sambo dan Ricky Rizal bersiaga apabila Yosua melawan.

Kuat Ma’ruf juga menyiapkan pisau yang ia bawa dari Magelang untuk berjaga-jaga apabila Yosua melawan. Adapun Putri Candrawathi berada di kamar lantai satu yang hanya berjarak tiga meter dari posisi Brigadir J.

Richard Eliezer menjadi terdakwa terakhir yang divonis dalam perkara pembunuhan berencana ini. Pada 14 Februari, Asisten Rumah Tangga Ferdy Sambo, Kuat Ma’ruf divonis hukuman 15 tahun penjara oleh Majelis Hakim atas keterlibatannya dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Yosua.

Pada hari yang sama, mantan ajudan Ferdy Sambo, Ricky Rizal divonis 13 tahun penjara. Vonis keduanya lebih berat dari tuntutan jaksa, yaitu delapan tahun penjara.

Sementara itu, pada 13 Februari majelis hakim memvonis istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi dengan hukuman 20 tahun penjara. Vonis ini lebih berat dari tuntutan jaksa delapan tahun penjara.

Pada hari yang sama pula Ferdy Sambo divonis hukuman mati. Ia dinilai majelis hakim terbukti merencanakan secara matang pembunuhan terhadap ajudannya sendiri, Yosua, termasuk bersalah merintangi penyidikan untuk menutupi pembunuhannya. Vonis mati Ferdy Sambo ini lebih berat dari tuntutan jaksa, yakni penjara seumur hidup.***