Pegiat antikorupsi dari National Corruption Watch (NCW), Hanifa Sutrisna, menyebut, kondisi di dalam lembaga antirasuah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang darurat.
Karena itu, saat ini sangat mendesak, untuk segera dilakukan reformasi total di lembaga antirasuah itu.
Ketua Umum National Corruption Watch (NCW), Hanifa Sutrisna pun mengusulkan kepada Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, agar segera melakukan reformasi secara menyeluruh dan berkesinambungan di tubuh KPK itu.
“Kami dari National Corruption Watch atau NCW, meminta Ketua KPK untuk menarik surat pengembalian Deputi Penindakan dan Dirdik ke Korps Bhayangkara, karena terindikasi di-intervensi dan otoriter,” tutur Hanifa Sutrisna kepada media, di Sekretariat DPP NCW, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Jumat (17/2/2023).
Hanifa Sutrisna juga meminta keterbukaan informasi dan data secara transparan kepada masyarakat, terutama kepada Pers dan lembaga-lembaga penggiat anti korupsi, agar Undang-Undang berjalan sebagaimana mestinya.
Menurutnya, menyeruaknya isu Pemulangan Dua Pimpinan KPK ke Polri, dikarenakan KPK saat ini sedang dalam kondisi carut marut dalam hal penindakan korupsi.
“Untuk itu kami perlu bersuara dan menyatakan sikap kepada seluruh masyarakat dan kepada seluruh stakeholder di Indonesia,” ujarnya.
Lebih lanjut Hanifa Sutrisna mengatakan, KPK memang sedang dalam kondisi darurat saat ini.
“KPK tidak bisa ‘memulangkan’ Irjen Karyoto selaku Deputi Penindakan dan Eksekusi, Brigjen Endar Priantoro selaku Direktur Penyelidikan ke Polri melalui surat rekomendasi Ketua KPK Firli Bahuri untuk promosi jabatan,” sebutnya.
Menurutnya, pengembalian pegawai KPK ke instansi hanya bisa dilakukan jika terjadi pelanggaran Kode Etik, atau jika masa penugasannya telah selesai.
“Jika ini adalah permintaan dari Ketua KPK kepada Polri, artinya KPK sendiri tidak bisa memberhentikan mereka,” imbuhnya.
Hanifa membeberkan, beredar kabar bahwa terjadinya perselisihan antara Direktur Penyelidikan, Deputi Penindakan dengan Ketua KPK itu adalah terkait kasus Formula E.
Hanifa menegaskan, jika penarikan ini memang dilatarbelakangi gesekan tersebut, maka tindakan Firli merupakan suatu hal yang berbahaya. Sebab, penarikan itu menjadi bentuk persoalan non hukum yang mengintervensi penegakan hukum.
National Corruption Watch (NCW) juga sependapat dengan Zaenur Rohman selaku Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), yang mengatakan bahwa baik Deputi Penindakan maupun Direktur Penyelidikan tidak tunduk Ketua KPK.
“Berdasarkan kode etik, Karyoto dan Endar harus tunduk kepada lembaganya, KPK,” katanya.
Jika ini adalah permintaan dari Ketua KPK kepada Polri, artinya KPK sendiri tidak bisa memberhentikan kedua pimpinan tersebut. Mereka harus tunduk pada Standar Operasional Prosedur (SOP) serta peraturan perundang-undangan.
Menurutnya, permintaan Ketua KPK terkait pemulangan Deputi Penindakan dan Direktur Penyelidikan ke instansinya sangatlah janggal dan berbahaya.
“Kenapa? Karena pegawai di KPK apalagi Bidang Penyelidikan, jika mereka tidak mau mengikuti kemauan dari Pimpinan maka bisa diberhentikan tanpa dasar alasan yang sesuai dengan hukum. Pasalnya permasalahan etik maupun masa jabatan yang telah selesai tidak menjadi alasan atas permintaan penarikan tersebut,” terangnya lagi.
Untuk hal ini, Hanifa juga meminta kepada Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo agar Ketua KPK Firli Bahuri menarik surat rekomendasi atas pemulangan Karyoto dan Endar Priantoro ke instansi Korps Bhayangkara.
“Mengingat loyalitas pegawai KPK itu bukan kepada pribadi pimpinan, melainkan loyalitas itu kepada sistem. Mereka harus menolak perintah pimpinan yang bertentangan dengan SOP, peraturan perundang-undangan, maupun kode etik,” sebutnya.
Institusi KPK secara organisasi bisa saja mengembalikan personil yang sifatnya penugasan atau perbantuan, terlebih jika ada permintaan Institusi Polri dalam tujuan promosi atau pembinaan karier personil.
“Namun, alangkah baiknya dijelaskan secara terbuka kepada publik, sehingga tidak ada persepsi negatif dari publik bahwa adanya intervensi Pimpinan KPK terhadap kasus tertentu,” tandas Hanifa Sutrisna.***