Oleh: Sandi Eben Ezer Situngkir, S.H., M.H., Wakil Ketua Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT), Advokat, Aktivis Sosial dan Putra Kawasan Danau Toba (KDT)
Pelaku dan pendukung kerusakan Danau Toba sedang berkumpul di Acara Powerboat Worl Championship F1H20 di Danau Toba.
Pemerintah dan dunia internasional, mutlak menjaga dan memelihara pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup di Danau Toba.
Negara-Negara dan peserta Powerboat World Championship F1H20, secara langsung ikut mendukung kerusakan Danau Toba.
Ada kewajiban internasional, memboikot sebuah event olah raga yang terindikasi dilaksanakan mendukung pengrusakan lingkungan karena lingkungan hidup juga bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM).
Dana Tarigan, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Utara (WALHI Sumut), menyatakan Danau Toba sudah menjadi “Toilet Raksasa”, karena tercemar bangkai ikan dan sisa limbah pakan ternak dari Keramba Jaring Apung (KJA).
Bahkan Larry Holmes Hutapea menemukan ribbon bangkai ikan yang dibuang PT Aquafarm ke dasar Danau Toba.
Perusakan Lingkungan Danau Toba sudah dilaporkan oleh Yayasan Pencinta Danau Toba ke Bareskrim Polri, tapi diamputasi oleh tangan-tangan jahil, dengan alasan tidak cukup bukti. (VoaIndonesia 31/01/2019).
Bahkan menurut Bank Dunia saat Rapat dengan Luhut Binsar Panjaitan, Danau Toba kerusakannya sudah sangat parah. Hanya 50 meter airnya yang punya oksigen, di bawahnya sudah enggak ada oksigen.(Kompas 20/11/2018).
Permukaan tanah pada dasar Danau Toba sudah terjadi pendangkalan kurang lebih 2 meter, akibat limbah yang didominasi oleh pelet pakan ikan yang dibuang ke KJA dan limbah ternak babi serta kotoran ikan.
Sehingga beralasan Danau Toba, sudah menjadi toilet raksasa atau safety tank yang menampung kotoran.
Saya sebagai Wakil Ketua Bidang Eksternal Yayasan Pencinta Danau Toba, mengecam penyelenggaraan lomba internasional tersebut di Danau Toba. Kerusakan juga terjadi pada hutan yang juga berdampak pada siklus air.
Menurut laporan Badan Lingkungan Hidup Sumatera Utara tahun 2012, luas hutan di Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba tahun 1985 adalah 78.558,18 Ha (28,14 persen dari luas DTA).
Tahun 1997 dan tahun 2001, luas hutan ini menyusut menjadi 22,15 persen dan 13,47 persen.
Dengan kondisi Danau Toba seperti ini 20 tahun yang akan datang, Danau Toba akan berubah menjadi Danau “Teba” (Danau Sisa).
Kepunahan habitat yang sudah terjadi akan merambah menjadi kepunahan masyarakat batak penghuni Kawasan Danau Toba.
Secara parsial adanya Powerboat World Championship bermanfaat bagi masyarakat lokal, tapi kontinuitas akan terjadi kerusakan lingkungan semakin parah di Danau Toba.
Selain itu Powerboat World Championship juga menjadi ajang campaign bagi investor masuk ke Danau Toba. Maka akan terjadi kapitalisasi tanah, adat dan masyarakat di Kawasan Danau Toba.
Tanah Adat dan hutan Adat yang jelas kepemilikannya adalah masyarakat di Kawasan Danau Toba, berubah menjadi HGB bagi perusahaan dan HPL bagi instansi atau Badan Pemerintah yang kemudian disewakan atau dijual menjadi HGB bagi perusahaan.
Masyarakat yang hidup dari pertanian dan hutan akan kehilangan mata pencaharian berubah menjadi “pengasong” di kampung sendiri.
Masyarakat di KDT butuh air untuk menghidupi lahan pertaniannya. Masyarakat juga merindukan Danau Toba menjadi sumber air minum, mual natio seperti keinginan Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT). Presiden Jokowi yang sudah berjanji membereskan kerusakan Danau Toba, bertindaklah segera.***