Reformasi Perpajakan Hanya Kamuflase Semata

“Menjadi mitra terpercaya pembangunan bangsa” adalah sepenggal kalimat dari visi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Lembaga Pelaksana Kebijakan Pajak Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan sebuah lembaga besar dan penting yang dimiliki republik ini.

Manajer Riset Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA), Baidul Hadi, mengatakan, visi yang demikian mulia tersebut berbanding terbalik dengan terpaan isu ketidakpercayaan dari masyarakat yang melandanya.

Semua bermula dari gaya hidup hedon salah satu petinggi Kantor Wilayah Dirjen Pajak (Kanwil DJP) di Jakarta Selatan.

Melalui media sosial, masyarakat memblejeti secara komprehensif, mulai dari pelaporan harta kekayaan hingga kinerja kelembagaan DJP.

Dari penelaahan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), terbukti sebanyak 13.885 pejabat di lingkungan Kementerian Keuangan belum melaporkan harta kekayaan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Selain itu, kekayaan pegawai DJP pun mendapatkan sorotan dari hasil akumulasi harta kekayaan senilai Rp 56 miliar, angka yang sangat fantastis bagi pejabat selevel Eselon III,” tutur Baidul Hadi, dalam siaran pers yang diterima, Sabtu (25/02/2023).

Baidul Hadi melanjutkan, Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) membuat simulasi, apabila pegawai tersebut sebagai Eselon 1 dengan gaji pokok sebesar Rp 5,2 juta dan tunjangan kinerja sebesar Rp 117,3 juta, maka membutuhkan waktu kurang lebihnya sekitar 30 tahun untuk mendapatkan Rp 56 miliar.

“Dengan catatan, selama 30 tahun, gaji dan tunjangan kinerja tersebut ditabung. Tentu, ini menunjukkan sudah tidak masuk akal,” katanya.

“Apalagi untuk Eselon III dengan gaji pokok Rp 4,7 juta dan Tunjangan Kinerja sebesar Rp 46,4 juta. Dibutuhkan hampir 98 tahun. Sungguh sulit diterima nalar sehat,” lanjut Baidul Hadi.

Kerasnya hantaman kasus ini muncul dari beragam reaksi masyarakat. Dimulai dari kasus penganiayaan anak pegawai pajak ke persoalan institusi pengelola pajak.

“Seluruhnya telah menunjukkan bahwa selama ini masyarakat memiliki penilaian adanya ketidakberesan di internal Dirjen Pajak, asumsi masyarakat terbukti benar,” tuturnya.

Aparatur Pengelola Pajak Sarat Problem

Persoalan yang dihadapi oleh pegawai pajak telah mendapatkan respon cepat dari Menteri Keuangan dengan mencopot jabatan pihak yang bermasalah. Namun, Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) melihat persoalan tidak selesai pada satu kasus saja.

Sebab, masyarakat terlampau sering dihadapkan dengan fakta nir-integritas dari Pegawai Pajak Indonesia.

“Paling fenomenal tentu Gayus Tambunan. Namun tidak itu saja, ada nama-nama lain yang terjerat kasus suap, pemerasan, penyalahgunaan jabatan, dan rekayasa pajak,” tutur Baidul Hadi.

Persoalan ini harusnya bisa menjadi refleksi bagi Kementerian Keuangan, artinya ada persoalan dalam pengawasan internal Kementerian Keuangan.

Sehingga menyebabkan kasus nir-integritas ini masih terus berlanjut. Kementerian Keuangan juga perlu melakukan pengawasan dan pengecekan terhadap pegawainya yang mengalami peningkatan kekayaan secara tidak wajar.

Selain juga pengawasan untuk melaporkan harta dan kekayaan kepada KPK secara tepat waktu.

Trust Issue Berdampak pada Pendapatan

Realisasi pendapatan Negara dalam APBN tahun 2022 sebesar Rp 2.626,4 T, lebih tinggi 115,9 T dari target. Sedangkan pendapatan dari sektor pajak sebesar Rp 1.784 T atau 68 persen dari total pendapatan.

Data tersebut menunjukkan DJP memiliki peran penting dalam pengelolaan pendapatan Negara.

Di sisi yang lain, DJP dihadapkan dengan persoalan ketidakpercayaan dari masyarakat. Jika tidak ada tindakan tegas, ketidakpercayaan dari masyarakat berpotensi pada turunnya angka partisipasi pembayaran dan Pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan).

Selain itu, persoalan yang dihadapi oleh DJP tidak hanya menjadi tanggung jawab dari Kementerian Keuangan saja, tetapi juga berbagai pihak, termasuk keterlibatan KPK selaku lembaga anti-rasuah.

FITRA menilai, persoalan ini tidak menutup kemungkinan terjadi di lembaga negara lainnya. KPK perlu untuk melakukan penelaahan komprehensif terhadap LHKPN yang dinilai tidak sebanding dengan potensi penerimaan dan memberikan ketegasan sanksi bagi pemangku kebijakan yang tidak disiplin dalam melaporkan LHKPN.

“LHKPN menjadi acuan meski tidak sepenuhnya bisa menjadi rujukan. Buktinya? Dari kasus pegawai DJP, masih terdapat harta kekayaan yang tidak dilaporkan seperti kendaraannya,” sebutnya.

Oleh karena itu, diperlukan sistem yang saling terkait dalam melakukan pengawasan kinerja baik kinerja kelembagaan dan kinerja aparaturnya.

Dari semua catatan sengkarut ini, agar persoalan yang melulu menjadi rapor merah melanda Negara ini berdampak pada seluruh aspek, maka Seknas FITRA menyatakan:

Satu, KPK perlu melakukan cek LHKPN secara random untuk mengetahui validitas laporan keuangan pejabat.

Dua, bila diketahui ada kekayaan gendut pejabat, perlu ada mekanisme pembuktian terbalik bagi pejabat bersangkutan bahwa kekayaannya didapat secara legal.

Tiga, Pemerintah melakukan review Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2015 Tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.

Empat, Kementerian Keuangan menindak para pejabat dan pegawai yang memiliki kekayaan di luar kewajaran dan memamerkan ke publik baik oleh pejabat itu sendiri maupun anggota keluarga.

Lima, Aparat penegak Hukum (KPK/Kepolisian/Kejaksaan, dan lainnya) melakukan pengusutan terhadap kekayaan para pejabat, khususnya di Ditjen Pajak, Kemenkeu.***

 

Contact Person:

Badiul Hadi (Manager Riset FITRA, 0853-2599-0822)

Gulfino Guevarrato (Peneliti FITRA, 0813-9844-4968)