Korban dari praktik mafia hukum dan mafia tanah, meminta kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, untuk segera mengusut tuntas dan menyeret semua jejaring maupun para pelaku praktik mafia tanah yang melibatkan oknum Aparat Penegak Hukum (APH) lintas instansi.
Bambang Djaya dan keluarganya, yang merupakan korban dari praktik mafia hukum dan mafia tanah, berharap Menkopolhukam Mahfud MD, benar-benar membuktikan komitmennya untuk memberantas segala bentuk praktik mafia, terutama mafia hukum dan mafia tanah yang masih terus menjamur di Indonesia.
“Kepada Bapak Menkopolhukam Mahfud MD, kiranya menunjukkan komitmen dan keseriusannya untuk memberantas mafia hukum dan mafia tanah, dengan memerintahkan jajaran Polisi, Jaksa, Pengadilan, untuk mengusut tuntas mafia tanah yang melibatkan oknum Penegak Hukum di masing-masing jajarannya,” tutur Bambang Djaya, kepada wartawan, di Jakarta, Senin (27/02/2023).
Bambang Djaya menyebut, dalam kasus praktik mafia yang dialaminya, keterangan bukti-bukti valid yang diungkap oleh para saksi kunci tidak pernah digubris oleh oknum Aparat Penegak Hukum (APH).
“Pengakuan saksi kunci tidak pernah dilibatkan. Pihak oknum aparat pura-pura tutup mata dan tutup telinga. Semua bukti tidak digubris. Mereka para oknum itu hanya lihat amplop uang. Mereka menghalalkan segala cara untuk mencari-cari kesalahan Saudara saya Herman Djaya untuk dijadikan Tersangka,” beber Bambang Djaya.
Bambang Djaya membeberkan, sejak kasus yang menimpa Saudaranya Herman Djaya bergulir pada tahun 2010 silam, sangat nyata praktik mafia hukum dan praktik mafia tanah yang terus dibiarkan.
Semua oknum pelaku praktik mafia itu, lanjutnya, sudah tersedia di masing-masing bidangnya, mulai dari aktor pembuat sertifikat, Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Surat Nikah, dan lain sebagainya.
“Ada juga oknum yang berperan sebagai aktor figur atau pendampingnya. Mulai oknum aparat kepolisian, oknum Jaksa, oknum Hakim, oknum Panitera di Mahkamah Agung, bahkan sampai oknum Hakim Agung itu sendiri,” beber Bambang Djaya.
“Semua mereka para oknum itu berkolaborasi satu dengan yang lainnya, yang merupakan satu tim. Mungkin bisa lebih tepat disebut sindikat,” lanjutnya.
Awal mula kasus yang dialami oleh Herman Djaya dan Bambang Djaya bersama keluarganya, dijelaskan dia, yakni sekitar bulan Januari 2010 silam.
“Pada sekitar bulan Januari 2010, Herman Djaya didatangi oleh temannya bernama Ny Marcela Harini atas suruhan John Tambunan, bersama Ir Agus Setiyanto, Alek dan satu lagi lupa namanya, mereka berempat,” tutur Bambang Djaya.
Maksud kedatangan keempat orang itu ke Herman Djaya adalah untuk meminjam uang, yang akan digunakan untuk Pembangunan Rumah di atas lahan kosong, yang berlokasi di Jalan Kebon Kacang Raya N0. 49, RT 001/RW 08, Kelurahan Kebon Kacang, Jakarta Pusat.
Sebagai Jaminan atas pinjamannya adalah sertifikat Hak Guna Pakai lahan tersebut dengan No.125, seluas 465m2.
Dalam pembicaraan tersebut, Ir Agus Setiyanto menunjukkan adanya Surat Notaris Kerja sama atas pembangunan rumah tersebut dengan Si Pemilik lahan yang bernama Muhammad Aziz Wellang alias Andi Aziz Welang.
“Tetapi pengajuannya ditolak oleh Herman Djaya, karena Ir Agus Setiyanto bukan pemilik lahan tersebut,” lanjutnya.
Karena Ir Agus Setiyanto mengatakan sanggup menghadirkan Si Pemilik Sertifikat di atas lahan tersebut, untuk hadir di Notaris H. Harjono Moekiran untuk menandatangani beberapa akte antara lain:
Satu, akte Pengakuan Hutang No.15 tanggal 11 Januari 2010.
Dua, akte Kuasa Untuk Menjual No.16. tanggal 11 Januari 2010.
Tiga, akte Pengikatan Jual Beli No.17, Tanggal 11 Januari 2010.
Di dalam perjanjian tersebut, dijelaskan bahwa pinjaman akan dikembalikan dalam jangka waktu selama dua bulan, dihitung sejak tanggal 11 Januari 2010 sampai 11 Maret 2010. Dan akan memberikan kompensasi sebesar 10 persen setiap bulan kepada Herman Djaya.
Dan sebagai jaminannya yaitu Sertifikat No.125 Kebon Kacang seluas 465m2, tertulis atas nama H Azis Welang.
“Sebelum transaksi tersebut terjadi, oleh pihak Notaris PPAT dilakukan cek dan ricek terlebih dahulu, dan dinyatakan benar keabsahannya. Maka terjadilah Pengikatan Ketiga Akte tersebut,” terang Bambang Djaya.
Setelah berjalan dua bulan kemudian, dikatakan Bambang Djaya, para peminjam uang itu menghilang.
“Dihubungi pun tidak ada respon maupun jawabannya. Sampai Herman Djaya pada bulan Agustus ke lokasi. Ternyata, lokasi dikuasai oleh orang-orang suruhan Andi Aziz Welang digunakan untuk warung dan lahan parkir. Dan menurut pengakuan orang di lokasi, mengatakan bahwa Andi Azis Welang orang yang berada, tidak pernah pinjam uang,” terangnya.
Karena demikian, kata dia, timbul kecurigaan akan dikorbankan menjadi Penadah sesuai Pasal 480, maka Herman Djaya cepat menyelesaikan ke Notaris PPAT untuk mengganti nama sertifikat tersebut.
Dan kemudian, setelah sudah ganti nama di sertifikat tersebut, Herman Djaya men-somasi untuk pengosongan lahan tersebut.
Tetapi sebaliknya, yang dilakukan Andi Azis Welang adalah melaporkan seseorang bernama RD Arief B Herlambang alias Buce Herlambang alias Buce Perlambang, yang sebelumnya mengaku sebagai suruhan Muhammad Azis Wellang, menawarkan tanah itu kepada Herman Djaya, ke Polda Metro Jaya.
“Seakan Muhammad Azis Wellang tertipu oleh Buce. Padahal pada 03 Juni tahun 2009, justru Andi Azis Welang menyuruh Buce untuk membuat sertifikat No.04725 dengan luas 829m2, di atas lokasi yang sama dengan sertifikat No,125.seluas 465m2,” tuturnya.
Berarti, lanjut Bambang Djaya, semua proses kejadian memang disengaja dibuat dan direncanakan untuk perbuatan jahat. Dan sertifikat aslinya melanglang buana untuk dicarikan pinjaman dengan rencana menghidupkan sertifikat yang No.04725 seluas 829m2.
“Adapun sertifikat-sertifikat tersebut untuk dijadikan modal mendapat uang haram hasil tipuan dengan menghalalkan segala cara,” sebutnya.
Dan ditengarai, sertifikat dengan No.04725 seluas 829m2 sudah dijaminkan oleh salah satu konglomerat yang dijadikan korban.
Anehnya, mengapa pihak Kepolisian sudah mengetahui adanya sertifikat yang ditimbulkan dengan No.04725 seluas 829m2 tidak diusut keabsahan (terlampir Surat Kuasa dari Andi Azis Welang kepada R Arief B Perlambang alias Buce untuk membuat sertifikat Palsu) tetapi sebaliknya pihak sertifikat asli yang ada di tangan Herman Djaya yang mau disita oleh Pihak Kepolisian?
“Tetapi karena Herman Djaya dapat menjelaskan dan membuktikan kepada pihak Penyidik di Karo Provost Mabes Polri, bahwa sesuai Hukum Kepemilikan Sertifikat Sah adanya di pihak Herman Djaya sehingga tidak dapat disita, dan dianggap selesai,” terang Bambang Djaya.
Menurutnya, jelas sudah ada permainan para mafia tanah yang melibatkan oknum Kepolisian di Polda Metro Jaya.
Karena perkara Pengosongan tidak berlanjut dan Tersangka (Buce) yang diciptakan tidak diusut mungkin dilarikan, dan masing-masing pihak memiliki sertifikat di tangan Herman Djaya, sedang lokasi dikuasai oleh Andi Azis Welang, dengan menghasilkan pendapatan setiap hari sekitar Rp 3 juta per hari.
Sehingga pada tahun 2012, Herman Djaya berinisiatif mengambil alih lahan tersebut, dengan sebelumnya berkoordinasi dengan Polres Jakarta Pusat.
Pada saat proses pengambilalihan lokasi, terjadi sedikit kemacetan di sekitar Kebon Kacang, maka pihak Polda Metro Jaya ikut turun tangan menertibkan dan mengambil alih permasalahannya.
“Ternyata, karena laporan dari Andi Azis Welang, tidak ada tindak lanjutnya lagi mengenai hal itu,” ujar Bambang Djaya.
Akhirnya, kedua belah pihak dihadapkan di depan Kasatserse Harda Polda Metro Jaya AKBP Ricky. Bahwa kedua belah Pihak Dilarang masuk atau dilarang menguasai lahan tersebut, dan dipasang Police Line oleh Polsek Tanah Abang.
“Tetapi kenyataan pihak Andi Azis Welang secara diam-diam masuk menguasai kembali lahan tersebut,” ungkap Bambang.
Selanjutnya, seminggu kemudian, RD Arief B Herlambang alias Buce Herlambang alias Buce Perlambang ditangkap oleh pihak Polda Metro Jaya, dan dilakukan penahanan selama kurang lebih 2 bulan, kemudian perkaranya dilanjutkan oleh PMJ ke Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.
“Setelah itu, perkara berlanjut sampai ke PN Jakarta Pusat, dan di sini ditengarai adanya suatu permainan di mana Hakim dalam mengambil keputusan semua saksi-saksi baik Saudara Herman Djaya, maupun Notaris, tidak ikut dihadirkan dalam sidang Buce tersebut,” beber Bambang Djaya.
Sehingga, timbul Keputusan No.1310/PID.B/2012/PN.JKT.PST. tanpa dihadirkan saksi-saksi kunci dalam perkara ini.
“Di sinilah sindikat permainan yang direncanakan, di mana dalam putusan tersebut seakan adanya kerja sama antara Herman Djaya dengan Buce,” tampik Bambang Djaya.
Dan Putusan inilah yang digunakan oleh Andi Azis Welang untuk membuat Sertifikat Pengganti di BPN Pusat, dengan Nomor yang sama No.125 tetapi atas nama Andi Azis Welang.
Padahal, Herman Djaya sudah menyurati ke BPN sebanyak dua kali, agar tidak dikeluarkan sertifikat Pengganti pada Tanggal 09 Desember 2013, dan pada tanggal 18 Desember 2013, karena beralasan masih berjalan perkara gugatan Perdata kasus Kepemilikan di PN Jakarta Pusat.
“Tetapi pihak BPN Pusat tutup mata dan tutup telinga. Di sinilah ditengarai pula adanya sindikat mafia tanah sampai ke BPN,” sebutnya.
Bambang Djaya mempertanyakan, mengapa semudah itu BPN Pusat mengeluarkan Sertifikat Pengganti dengan alasan yang tidak aktual? Sedangkan Putusan PTUN No.254/G/2017/PTUN-JKT tanggal 3 Mei 2017 dan Perintah eksekusi tahun 2019 No.W2.TUN1.2297/HK.06/XI/2019 Tanggal 21 November 2019, untuk membatalkan dan mengembalikan sertifikat ke atas nama Herman Djaya, Tidak Dilaksanakan oleh BPN.
“Inilah yang yang kami tengarai adanya keterlibatan pihak BPN dengan permainan mafia tanah yang sudah mendesain keberpihakan sedemikian rupa,” katanya.
Dan dengan liciknya, kata dia lagi, Andi Azis Welang berdasarkan Putusan tersebut melaporkan Herman Djaya ke Bareskrim Mabes Polri, seakan bekerja sama dengan Buce memalsukan Akte Jual Beli, dan lain sebagainya.
“Hampir saja Saudara Herman Djaya ditahan di Mabes Polri, tetapi kenyataannya dalam gelar di Wasidik, Saudara Herman Djaya dapat membuktikan kebenarannya, sehingga Mabes Polri mengeluarkan SP-3,” ungkap Bambang Djaya.
Tetapi sekarang, diungkapkan Bambang Djaya, terjadi laporan kembali yang dilakukan Andi Azis Welang di Bareskrim Mabes Polri. Yang melaporkan Herman Djaya dan dituduh menggunakan Akte Palsu sebagai gugatan di PTUN.
“Padahal akte tersebut dikeluarkan berdasarkan data yang sah oleh instansi yang berkompeten, di sinilah ditengarai keberpihakan pihak kepolisian apakah ini termasuk jaringan sindikat mafia tanah yang sudah melibatkan pihak Kepolisian,” tuturnya.
Setelah laporan yang dilakukan Andi Azis Welang gagal untuk menuduh Herman Djaya, maka dengan mencari alasan lain yang mengada-ada dilakukan kembali dengan menggunakan keterlibatan pihak Kepolisian, memainkan kembali dengan Laporan Baru seakan Herman Djaya melakukan menggunakan Surat Palsu dari BPN.
“Padahal surat tersebut tidak ada keabsahan atau keasliannya, dan tidak ada keterlibatan Saudara Herman Djaya. Seharusnya pihak Pengacara yang memasukkan dalam bukti perkara diperiksa terlebih dahulu,” ujarnya.
Anehnya, berkas perkara ini sudah 3 (tiga) kali P-19 sejak tahun 2017. Dan hukum menyatakan, apabila berkas P-19 sudah 3 tiga kali dikembalikan, maka Perkara dinyatakan Tidak Layak atau Tidak Dapat diajukan kembali.
“Kenyataannya sekarang, pihak Kejaksaan Agung mengeluarkan P-21. Di sini ditengarai keterlibatan dari pihak Kejaksaan dalam keberpihakan terhadap mafia tanah, dengan maksud Saudara Herman Djaya diganggu terus, agar mau menyerah dan mau mengembalikan sertifikat yang ada di tangannya,” tutur Bambang Djaya.
Dengan perjalanan perkara dan peristiwa yang dialaminya itu, Bambang Djaya berharap, seluruh pimpinan instansi penegak hukum seperti Kapolri, Jaksa Agung, Ketua MA, dan bahkan Menkopolhukam Mahfud MD, untuk membuktikan bahwa pemberantasan mafia hukum dan mafia tanah bukanlah sekedar isapan jempol belaka.
Dirinya, dan keluarganya, kata Bambang Djaya, memperjuangkan keadilan dan hak semestinya. Dan sudah sewajarnya Negara ini memberikan keadilan dan hak yang sewajarnya itu.
“Seperti apa yang dikatakan oleh Bapak Menkopolhukam Mahfud MD, di mana jaringan sindikat mafia tanah sudah melibatkan berbagai instansi. Walau pun sudah dimenangkan dalam perkara hingga Kasasi, tetapi begitu akan dilakukan eksekusi, maka diterbitkan kembali gugatan yang tidak jelas. Yang dimaksudkan untuk menghalangi eksekusi tersebut,” tutur Bambang Djaya.

Korban Diduga Terus Diintimidasi Kaki Tangan Mafia Tanah Lewat Somasi
Dugaan praktik mafia hukum dan mafia tanah masih terus menjamur di instansi-instansi Penegak Hukum.
Salah seorang korban dari praktik mafia tanah, Bambang Djaya, mengaku terus dihalang-halangi dengan berbagai cara untuk mendapatkan hak mereka atas sengketa tanah yang sudah dimenangkan hingga tingkat Kasasi di Mahkamah Agung (MA).
Yang terbaru, Bambang Djaya diduga kembali diintimidasi dan diancam oleh orang-orang yang diduga sebagai bagian dari kaki tangan mafia tanah dan mafia hukum.
Sebuah Surat Somasi menjadi alat yang dipergunakan oleh para pelaku atau kaki tangan mafia untuk menekan Bambang Djaya dan keluarganya.
“Somasi atau Peringatan Hukum untuk tidak melakukan gangguan terhadap kepemilikan sertifikat Hak Pakai No 125 Kebon Kacang tercatat atas nama Muhammad Azis Wellang, seluas 465 M2,” demikian judul Surat Somasi yang diterima Bambang Djaya dari Kantor Hukum Broer And Partners, yang beralamat di Gedung The Ceo Lantai 2, Jalan TB Simatupang, Kav 18 C, Cilandak Barat, Jakarta Selatan, yang ditunjukkan Bambang Djaya kepada wartawan, di Jakarta, Jumat (24/02/2023).
Surat somasi yang disebutnya berisi ancaman itu berdasarkan Surat Kuasa Khusus dari seseorang yang bernama Muhammad Azis Wellang, yang beralamat di Puri Kemayoran Apartemen Tower 2 THD Lantai 3, RT 009/RW010, Kelurahan Kebun Kosong, Kemayoran, Jakarta Pusat.
“Isi surat somasinya menurut saya sengaja mengancam, dengan dalil bahwa ada Putusan Peninjauan Kembali atau PK yang kedua yang memenangkan mereka baru-baru ini. Sedangkan kami, sejak tahun 2010 silam pun sudah dinyatakan lewat putusan Pengadilan Negeri, PTUN hingga Kasasi dan PK Pertama sebagai pemilik yang sah,” tutur Bambang Djaya ketika berbincang dengan wartawan.
Anehnya lagi, lanjut Bambang Djaya, Putusan PK 2 yang memenangkan Muhammad Azis Wellang itu sarat dengan kejanggalan.
“Masa alasannya memenangkan PK 2 hanya karena semua putusan pengadilan, PTUN hingga PK 1 yang memenangkan Herman Djaya, yaitu saudara kandung saya sebagai pemilik yang sah, tak kunjung ditindaklanjuti oleh pihak Badan Pertanahan Nasional Jakarta Pusat untuk melakukan perubahan nama di sertifikat,” jelas Bambang Djaya.
Padahal, lanjut dia, sejak semula, pihaknya juga sudah terus-terusan meminta kepada pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk segera mengubah nama disertifikat menjadi nama Herman Djaya, sesuai dengan putusan-putusan pengadilan dan PTUN serta Kasasi maupun PK 1.
Sedangkan putusan PK 2 yang memenangkan Muhammad Azis Wellang itu, kata dia, baru terjadi pada Selasa, 27 Desember 2022 lalu, dengan Hakim yang memutus kemenangan Muhammad Azis Wellang adalah Dr H Andi Samsan Nganro, S.H., M.H., Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial sebagai Ketua Majelis, bersama Dr H Yulius, S.H., M.H., dan Dr H Haswandi, S.H., S.E., M.Hum., M.M., sebagai Hakim Anggota. Serta Michael Renaldy Zein, S.H., M.H., sebagai Panitera Pengganti, dengan tanpa dihadiri para pihak.
Mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali dari Pemohon Peninjau Kembali, Muhammad Azis Wellang.
Membatalkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2870 K/Pdt/2016 tanggal 14 Desember 2016 juncto Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor: 451/Pdt/2015/PT.DKI tanggal 19 Okrober 2015 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 247/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Pst tanggal 19 Agustus 2014 yang memenangkan Herman Djaya.
Dengan demikian, di dalam Surat Somasi yang dikirimkan oleh Muhammad Azis Wellang lewat Kantor Hukum Broer And Partners, yang beralamat di Gedung The Ceo Lantai 2, Jalan TB Simatupang, Kav 18 C, Cilandak Barat, Jakarta Selatan kepada Bambang Djaya itu, juga menegaskan bahwa semua Putusan Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT), Mahkamah Agung (MA), putusan PTUN, hingga putusan Kasasi dan Putusan PK 1, yang menyatakan Herman Djaya sebagai pemilik yang sah, dinyatakan oleh Muhammad Azis Wellang adalah palsu dan ilegal.
“Putusan Pengadilan kok palsu dan ilegal dibilang? Wah, gawat sekali orang-orang ini. Semua putusan pengadilan yang kami terima itu adalah sah dan legal. Masa dituduh itu palsu dan ilegal?” terang Bambang Djaya.
Bambang Djaya juga menduga, ada dugaan kaki tangan mafia hukum yang bermain hingga ke Mahkamah Agung, sehingga dengan seenaknya saja Majelis Hakim atas nama Dr H Andi Samsan Nganro, S.H., M.H., Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial sebagai Ketua Majelis, bersama Dr H Yulius, S.H., M.H., dan Dr H Haswandi, S.H., S.E., M.Hum., M.M., sebagai Hakim Anggota. Serta Michael Renaldy Zein, S.H., M.H., sebagai Panitera Pengganti, dengan tanpa dihadiri para pihak, kok bisa memenangkan Muhammad Azis Wellang.
“Kami juga akan segera melakukan PK atas putusan PK 2 yang dilakukan Azis Wellang itu,” tegas Bambang Djaya.
Bambang Djaya menguraikan, kasus soal kepemilikan tanah seluas 465 M2 di Kebon Kosong, Jakarta Pusat itu terjadi sejak 2010 silam.
Saat itu, seseorang bernama RD Arief B Herlambang alias Buce Herlambang alias Buce Perlambang, yang mengaku sebagai Muhammad Azis Wellang, menawarkan tanah itu kepada Herman Djaya.
Semua bukti-bukti jual beli, dan surat-surat serta dokumen tanah itu telah diserahkan oleh Buce Perlambang, atas suruhan Muhammad Azis Wellang.
Namun, setelah jual beli itu selesai, dan setelah sah menjadi milik Herman Djaya, Muhammad Azis Wellang protes dan menguasai lahan itu secara sepihak.
“Kami sudah beli. Duit semua sudah masuk. Dokumen dan bukti-bukti pun sudah jelas. Bahkan, gugatan di Pengadilan Negeri pun kami hadapi, dan Pengadilan Negeri memutuskan bahwa tanah itu milik Herman Djaya,” ungkap Bambang Djaya.
Hingga kasus terus bergulir hingga ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan Tinggi DKI Jakarta (PT DKI Jakarta), ke Mahkamah Agung (MA), Peninjauan Kembali Pertama (PK 1), lanjut Bambang Djaya, pihak Herman Djaya dikuatkan oleh putusan-putusan Pengadilan itu sebagai Pemilik yang sah atas tanah tersebut.
Kemudian, pihak Herman Djaya juga sudah berkali-kali memohon kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Republik Indonesia dan kepada Kantor Pertanahan (Kantah) Kota Jakarta Pusat agar segera diubah nama di sertifikat tanah itu menjadi nama Herman Djaya, sesuai dengan perintah putusan-putusan pengadilan yang sudah diputuskan, dan sesuai dengan perintah dari Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Republik Indonesia.
“Namun, kami selalu dipersulit, dan selalu dihalang-halangi. Bahkan oleh petugas dan pejabat di Kantor Pertanahan (Kantah) Kota Jakarta Pusat juga kami dipersulit untuk memperoleh hak kami,” jelasnya.
Hingga baru-baru ini, keluar lagi putusan PK 2 atas kemenangan Muhammad Azis Wellang, sehingga merasa bahwa tanah itu masih menjadi miliknya Muhammad Azis Wellang.
“Semua rangkaian peristiwa sejak tahun 2010 lalu itu, sebetulnya sangat jelas dan terang benderang, bahwa ada praktik dugaan mafia hukum dan mafia pertanahan yang kami alami, bahkan hingga ke Mahkamah Agung. Buktinya, kok bisa keluar lagi PK 2 yang memenangkan Muhammad Azis Wellang dengan ujug-ujug begitu saja,” ujar Bambang Djaya.
Oleh karena itu, lanjut Bambang Djaya, selain akan segera melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan PK 2 yang memenangkan Muhammad Azis Wellang itu, pihaknya akan melaporkan dugaan-dugaan praktik korupsi dan praktik mafia hukum yang mereka alami ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Republik, Menkopolhukam Mahfud MD, dan kepada Presiden Republik Indonesia Joko Widodo.
“Inilah ketidakadilan yang kami peroleh sebagai warga Negara Republik Indonesia, yang dipermain-mainkan oleh mafia hukum dan mafia tanah. Kepada siapa lagi kami mengadu? Kami akan mengadukan semua ini kepada Ketua MA, Kapolri, Jaksa Agung, KPK, DPR, Menkopolhukam Mahfud MD, Menteri ATR/Kepala BPN Hadi Tjahjanto, dan kepada Presiden Republik Indonesia Bapak Joko Widodo, dan kepada seluruh Rakyat Indonesia,” tutur Bambang Djaya.
“Mohon kami pencari keadilan dilindungi, dan diberikan hak-hak kami yang sudah sepantasnya menjadi hak kami,” tandasnya.***