Penolakan terhadap Undang-Undang No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau UU CK, dan Perppu Cipta Kerja terus terjadi.
Klaster ketenagakerjaan UU Cipta Kerja diyakini menurunkan perlindungan bagi pekerja formal.
Tentunya pasal-pasal di UU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan yang menurunkan perlindungan bagi pekerja formal sudah menjadi diskusi umum di media-media.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Sekjen Opsi), Timboel Siregar, menyampaikan, UU Cipta Kerja yang dikampanyekan akan mengatasi defisit angkatan kerja, sepertinya masih isapan jempol semata.
“Undang-Undang Cipta Kerja belum mampu mengatasi defisit angkatan kerja di sektor formal. UU Cipta Kerja hanya lebih banyak menambah jumlah pekerja informal yaitu sebanyak 2,58 juta (antara Agustus 2021 ke Agustus 2022), sehingga jumlah pekerja informal terus bertambah lebih cepat dengan total saat ini sebanyak 80 jutaan pekerja informal,” tutur Timboel Siregar, dalam keterangan yang diterima, Senin (27/02/2023).
Lebih lanjut, Timboel Siregar yang juga Koordinator Advokasi BPJS Watch itu menyebut, dengan jumlah yang bertambah banyak, tentunya UU Cipta Kerja juga tidak memberikan perlindungan kepada pekerja informal.
“Kalau pun ada program jaminan sosial yang baru yaitu Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), program ini pun dikhususkan untuk pekerja formal, tidak diberikan kepada pekerja informal,” lanjut Timboel Siregar.
Selama setahun Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) memberikan manfaat (Februari 2022 hingga saat ini) ternyata pekerja formal yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), yang mendapat manfaat JKP dan kembali bekerja, lebih banyak yang masuk bekerja di sektor informal, sementara yang kembali bekerja di sektor formal lebih sangat sedikit.
Memang, kata dia, Kebijakan Pemerintah kerap kali meninggalkan pekerja informal.
Program Bantuan Subsidi Upah (BSU) yang sudah 3 kali diberikan, semuanya hanya untuk pekerja formal. Pekerja informal ditinggalkan.
Kalau pun Perpres No 109 tahun 2013 dan Permenaker No 5 tahun 2021 mewajibkan pekerja informal ikut Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), faktanya sampai saat ini baru 6 sampai 7 juta pekerja informal yang ikut JKK JKM, dari 80 jutaan pekerja informal saat ini.
Pasal 34 Permenaker No 5 Tahun 2021 yang mewajibkan aplikator mendaftarkan pekerja ojek online atau ojol ke BPJS Ketenagakerjaan, tapi sampai saat ini Kemenhub dan Kemenaker membiarkan Pasal 34 tidak berjalan dengan baik, sehingga masih ratusan ribu sampai jutaan pekerja ojol tidak terlindungi di BPJS Ketenagakerjaan.
Pasal 14 dan Pasal 17 Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) mewajibkan Pemerintah mendaftarkan masyarakat miskin ke Program Jaminan Sosial, namun sampai saat ini pekerja informal miskin tidak kunjung didaftarkan Pemerintah Pusat ke Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Program Jaminan Kematian (JKm).
Belum ada Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) Jaminan Kematian (JKm) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Terjadi pembiaran oleh Pemerintah terhadap pekerja informal, namun kerap kali pekerja informal dijadikan tameng alasan oleh Pemerintah dalam membuat regulasi ketenagakerjaan yang baru seperti klaster ketenagakerjaan di Undang-Undang Cipta Kerja.
“Alasan yang biasa disampaikan, kita harus peduli kepada pekerja informal yang mau masuk ke sektor formal, sehingga regulasi harus mendukung hal tersebut. Menjadikan tameng pekerja informal tapi Pemerintah sangat lalai melindungi pekerja informal,” tuturnya.
Perlindungan pekerja formal menurun dan lalainya perlindungan bagi pekerja informal menjadi fakta dalam Undang-Undang Cipta Kerja, yang juga dilanjutkan oleh Perppu Cipta Kerja,” tandas Timboel Siregar.***