Setiap tanggal 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional atau International Women’s Day (IWD). Tahun ini mengambil tema “Gender equality today for a sustainable tomorrow”.
Tema ini dipilih untuk menjawab tantangan dunia saat ini dan masa depan, dan para perempuan diharapkan untuk bisa menjawab tantangan dunia tersebut.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Sekjen Opsi), Timboel Siregar, mengatakan, perjuangan kesetaraan gender pada Hari Perempuan Internasional harus bisa dimaknai sebagai upaya lebih memberikan perlindungan bagi kaum perempuan.
Timboel Siregar memaparkan, peristiwa meninggalnya Ibu Kurnaesih, yaitu Ibu hamil asal Kampung Citombe, Desa Buniara, Kecamatan Tanjungsiang, Kabupaten Subang, yang diduga tak ditangani oleh Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ciereng, Kabupaten Subang, menjadi bukti masih adanya Perempuan yang tidak terlindungi, yaitu tertolak untuk mendapatkan pelayanan persalinan karena belum adanya surat rujukan.
Pasal 32 huruf c UU No 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit (UU RS) dengan tegas mengamanatkan setiap pasien mempunyai hak memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi.
“Ibu Kurnaesih yang memang membutuhkan pelayan kegawatdaruratan harus ditangani, tidak boleh diminta surat rujukan dari Puskesmas,” tutur Timboel Siregar, dalam keterangan persnya, Kamis (09/03/2023).
Mengacu pada Perpres No 82 Tahun 2018, pasien JKN yang dalam kondisi gawat darurat tidak memerlukan surat rujukan dari FKTP.
Seluruh Rumah Sakit, baik yang sudah bekerja sama maupun yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, wajib menerima pasien JKN yang dalam kondisi gawat darurat.
Peraturan Menteri Kesehatan No. 47 tahun 2018 tentang Pelayanan Kegawatdaruratan menyatakan Pelayanan Kegawatdaruratan adalah tindakan medis yang dibutuhkan oleh pasien gawat darurat dalam waktu segera untuk menyelamatkan nyawa dan pencegahan kecacatan.
“Ketentuan regulasi-regulasi tersebut diduga kuat dilanggar oleh tenaga medis di RSUD Ciereng yang menyebabkan meninggalnya Ibu Kurnaesih dan bayinya. Permasalahan ini harus diproses oleh kepolisian karena ada dugaan kelalaian tenaga medis di sana,” tutur Timboel Siregar yang juga Koordinator Advokasi BPJS Watch.
“Dan Dinas Kesehatan Subang pun harus menginvestigasi masalah ini, termasuk mengevaluasi sistem pelayanan Kesehatan di RSUD tersebut serta memperbaiki sistem yang bermasalah,” lanjutnya.
Kematian Ibu Kurnaesih dan bayi dalam kandungannya menambah panjang rangkaian kasus pelanggaran hak pasien di Rumah Sakit, khususnya pasien perempuan. Ini bukan kasus pertama, ini merupakan kasus kesekian yang dialami perempuan.
Belum terlindunginya seluruh perempuan dalam sektor Kesehatan pun masih terjadi dalam pelaksanaan program JKN lainnya.
Masih tingginya angka persalinan Ibu hamil dengan operasi Caesar dibandingkan dengan persalinan normal, memposisikan kehamilan Ibu sebagai obyek bisnis.
Dari sisi regulasi, Perpres No. 82 tahun 2018 yang mensyaratkan kepesertaan aktif di JKN agar peserta mendapatkan layanan JKN, menjadi kendala bagi perempuan miskin beserta keluarganya sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang dinonaktifkan sepihak oleh Pemerintah sehingga tidak berhak atas layanan JKN lagi.
“Apalagi ketika dalam proses kehamilan yang memerlukan pemeriksaan pada saat kehamilan, dan proses persalinan serta paska persalinan, ketiadaan layanan JKN akan mempersulit kaum perempuan kita,” terang Timboel Siregar.
Demikian juga dengan peserta JKN mandiri yang tidak mampu lagi membayar tunggakan iuran JKN dan pembayaran denda perawatan akan memarjinalkan perempuan dari program JKN, sehingga penjaminan JKN dalam proses kehamilan, persalinan, dan paska persalinan akan sulit diperoleh oleh perempuan.
Kehadiran Pasal 52 ayat (1r) Perpres no. 82 tahun 2018 pun memposisikan Perempuan sulit mengakses program JKN.
Pasal ini menyatakan pelayanan kesehatan akibat tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme, dan tindak pidana perdagangan orang tidak dilayani oleh Program JKN.
Faktanya, Perempuan lah sebagai korban terbanyak yang mengalami kekerasan seksual dan perdagangan orang.
Tentunya persoalan-persoalan tersebut harus dicarikan solusinya, dan perbaikan regulasi harus dilakukan.
Perbaikan tersebut harus terakomodir dalam proses revisi Perpres No 82 tahun 2018 yang saat ini sedang dilakukan Pemerintah.
Momentum Indonesia yang menjabat sebagai ketua ASEAN untuk tahun 2023, harus dimaksimalkan untuk memastikan Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang mayoritas adalah kaum perempuan, terlindungi pada saat bekerja di Negara-Negara ASEAN.
Kasus penganiayaan, pemerkosaan, perdagangan orang, tidak dibayar upah, dan sebagainya, merupakan kasus-kasus yang masih dialami PMI kita yang bekerja di negara ASEAN seperti Malaysia.
“Oleh karenanya, Pemerintah Indonesia harus mampu memanfaatkan posisi sebagai ketua ASEAN untuk melindungi PMI kita. Seluruh Negara ASEAN harus membuka diri dan membangun sistem perlindungan yang terintegrasi antar-Negara ASEAN bagi seluruh pekerja migran yang bekerja di Negara ASEAN,” sebut Timboel Siregar.
Seluruh penyelenggara jaminan sosial di Negara ASEAN harus membangun kerja sama sehingga penyelenggara jaminan sosial akan mudah melayani pesertanya, seperti kehadiran BPJS Ketenagakerjaan secara langsung di negara tujuan di ASEAN untuk memberikan pelayanan dan perlindungan bagi PMI.
“Semoga momentum perayaan Hari Perempuan Internasional mampu mendorong Pemerintah Indonesia untuk lebih melindungi seluruh rakyat Indonesia khususnya kaum Perempuan Indonesia,” tandasnya.***