SETARA Institute Temukan Banyak Pemerintah Kota Terjebak Situasi Intoleran

Rerata skor hasil Indeks Kota Toleran (IKT) dari publikasi 2015 sampai dengan 2022 menunjukkan bahwa kondisi toleransi di Indonesia masih stagnan dan belum mencapai nilai yang signifikan.

Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, menyebut, beberapa Kota berhasil mencapai nilai istimewa, namun beberapa Kota lainnya masih terjebak dalam situasi-situasi intoleran.

Oleh karena itu, disampaikan Halili Hasan, Studi Indeks Kota Toleran merekomendasikan:

Pertama, perbaikan peraturan perundang-undangan di tingkat Pusat.

“Terutama dalam membangun jaminan kebebasan beragama berkeyakinan serta perlindungan terhadap kelompok minoritas dan rentan. Regulasi-regulasi yang ambigu dan dapat dimanfaatkan sebagai rujukan menciptakan intoleransi di daerah perlu ditinjau ulang dan diperbaiki sesuai dengan tantangan masyarakat Indonesia yang belakangan ini lebih banyak terpolarisasi oleh praksis politisasi identitas,” tutur Halili Hasan.

Hal itu disampaikan SETAR Institute dalam Peluncuran Hasil Riset IKT 2022, sekaligus Pemberian Award Kepada 10 Kota Dengan Skor Toleransi Tertinggi, di Candi Singasari Ballroom, Hotel Grand Sahid Jaya, Jl Jenderal Sudirman No. 86, Jakarta, Kamis 06 April 2023 lalu.

Kedua, penetapan skema kualifikasi kepemimpinan untuk Pemimpin Daerah. Pemimpin daerah harus memiliki kesadaran akan wawasan kebangsaan, kemajemukan dan kebhinekaan.

“Dengan kesadaran tersebut, para Pemimpin Daerah dapat menghasilkan visi, misi, RPJMD sampai dengan Indikator Kinerja Kota yang sesuai dengan kapasitas kebhinekaan termasuk menjadikannya sebagai program prioritas Kota,” lanjutnya.

Tiga, kolaborasi kerja antar pemerintah kota, yang difasilitasi oleh Pemerintah Pusat. Halili Hasan mengatakan, skema tata kelola inklusif sebagaimana tantangan kelembagaan efektif pada SDGs 2030 perlu dioperasionalisasi ke dalam kerja bersama antar Pemerintah Kota.

“Kerja bersama ini akan memberikan ruang dialog yang lebih luas untuk secara bersama-sama saling memperkuat tata kelola pemerintahan inklusif dan berkelanjutan,” lanjutnya.

Empat, kampanye kearifan lokal dan budaya yang menjunjung toleransi dan kerukunan.

Daerah-Daerah Kota yang masih menjunjung tinggi warisan kearifan lokal dan melestarikannya ke dalam tradisi kehidupan sehari-hari cenderung tidak memiliki problematika intoleransi.

“Kearifan lokal dan budaya yang hidup di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat menjadi daya pengungkit resiliensi sekaligus deteksi dini masyarakat terhadap letupan-letupan intoleransi,” ujar Halili Hasan.

Lima, penguatan kelompok masyarakat sipil, seperti forum kerukunan, forum kebangsaan dan organisasi pemuda.

Forum-forum semacam ini membangkitkan dinamika masyarakat sipil dalam menghadapi kejadian-kejadian intoleran di masyarakat.

“Kampanye dan narasi kebangsaan yang diserukan secara terus menerus melalui forum-forum masyarakat sipil mampu mencegah peristiwa intoleransi berkembang lebih besar,” lanjutnya.

Enam, pengarusutamaan tata kelola inklusif di tingkat Pusat dan Daerah yang mendukung terwujudnya kesetaraan, partisipasi, dan toleransi dengan menciptakan lingkungan keterlibatan, rasa hormat dan koneksi dari berbagai kelompok, melibatkan kekuatan yang beragam dari perbedaan etnis, agama dan budaya, gender, serta memberdayakan masyarakat yang terpinggirkan dan marjinal.

“Penyelenggaraan tata kelola Pemerintahan inklusif adalah penyelenggaraan program serta kegiatan oleh Pemerintah Daerah yang menjamin partisipasi, keadilan, kesetaraan dan martabat melekat, non-diskriminasi, perlindungan atas kebebasan di ruang publik, kebebasan beragama dan atau berkeyakinan di dalam setiap kehidupan berbangsa dan bernegara,” jelasnya.

Indeks Kota Toleran (IKT) 2022 merupakan publikasi ke-6 yang diproduksi SETARA Institute sejak tahun 2015.

Studi indexing ini ditujukan untuk mempromosikan pembangunan dan pembinaan ruang-ruang toleransi di kota yang dilakukan oleh Pemerintah Kota setempat, baik melalui tindakan aktif seperti penghapusan kebijakan diskriminatif atau pemberian izin pendirian tempat ibadah kelompok keagamaan minoritas.

“Maupun tindakan pasif untuk tidak mengeluarkan kebijakan yang tidak kondusif atau restriktif atas terwujudnya toleransi dalam ruang-ruang interaksi Negara-warga atau warga-warga,” tandasnya.***