Negara melalui Presiden Joko Widodo dan Aparat Penegak Hukum (APH), didesak untuk segera membongkar dan mengusut tuntas dugaan praktik mafia tanah dan mafia hukum dalam kasus Tan Mokoginta di Kotamobagu, Sulawesi Utara (Sulut).
Kuasa Hukum Almarhum Tan Mokoginta, Saddan Sitorus, menyebut, ada indikasi kuat telah terjadinya dugaan permufakatan jahat dalam kasus itu.
Hingga saat ini, lika-liku perjalanan kasus Almarhum Tan Mokoginta yang penuh misteri malah memasuki babak baru yang menyesatkan.
Saddan Sitorus membeberkan, dari investigasi dan advokasi yang dilakukan timnya terkait kasus ini, tampak ada permufakatan jahat dan konspirasi antara Kantor Pertanahan, Polres Kota Kotamobagu dan terlapor, Sonny R.V Mokoginta Cs.
“Karena, mereka diduga aktif secara bersama-sama untuk membungkam penegakan hukum,” ungkap Saddan Sitorus, dalam keterangannya, Kamis (13/04/2023).
Karena itu, Saddan Sitorus Cs sebagai Kuasa Hukum Almarhum Tan Mokoginta, sangat menyesalkan tindakan-tindakan tidak terpuji tersebut.
Menurutnya, perbuatan itu melegitimasi untuk bertumbuhnya mafia tanah dan mafia hukum di tengah masyarakat. Dalam sengketa ini ada kekuasaan absolute sangat nyata.
“Ini jelas konspirasi, sudah bisa ditebak, kekuasaan menjadi tameng untuk membungkam para ahli waris untuk mendapatkan haknya, ibarat main film, kantor pertanahan, oknum penyidik dan pejabat Polres Kota Kotamobagu serta terlapor Sonny R.V Mokoginta punya peranan masing-masing dan semua terstruktur skenarionya, jadi sekalipun konsekuensinya berat, intinya agar tuan senang, terlalu berani menabrak ketentuan hukum,” beber Saddan Sitorus.
Saddan Sitorus melanjutkan, sebenarnya, dasar bukti-bukti kepemilikan ahli waris Tan Mokoginta sangat akurat, dan tercantum detail pada SHM No. 335 Tahun 1981.
“Sehingga adapun upaya-upaya hukum diambil, bentuk dari perjuangan untuk mendapat keadilan dan kepastian hukum serta melawan tindakan penyalahgunaan wewenang oleh oknum aparatur Negara dan aparat penegak hukum,” jelasnya.
Dia menerangkan, sengketa tanah bermula ketika oknum Pengukur dan Pejabat Kantor Pertanahan Kota Kotamobagu sejak Tahun 2008 sampai Tahun 2023, tidak transparan dalam melakukan pengukuran dan menerbitkan hasil pengukuran.
Semua hasil-hasil pengukuran tidak disertakan sebagai bukti otentik. Bahkan atas kecurangan-kecurangan ini sudah dilaporkan dikantor Kepolisian Polres Kota Kotamobagu sejak 2021.
“Namun hasilnya masih jauh panggang dari api sehingga terkesan sia-sia, #Percuma Lapor Polisi,” katanya.
Selain melakukan pengukuran yang salah, lanjut Saddan, kesalahan-kesalahan oknum pejabat di Kantor Pertanahan Kotamobagu adalah melegitimasi pengukuran ilegal dengan menerbitkan produk hukum yang salah juga. Di mana terbit pengganti sertifikat hak milik No. 99 Tahun 1978, yakni SHM No 99 Tahun 2019, beserta sertifikat turunan dari hasil transaksi jual beli secara ilegal Sonny R.V Mokoginta sejak Tahun 2012, yang mempengaruhi luas tanah Tan Mokoginta berubah dan berbeda.
“Tindakan Kantah (Kepala Kantor Pertanahan) dalam sengketa ini, melebihi kewenangannya, menerbitkan sertifikat kepemilikan di atas sertifikat atau milik yang bersertifikat itu cacat administrasi,” katanya.
“Kantah tersebut tidak menjalankan asas-asas umum Pemerintahan yang baik dan benar. Akibat melegalkan cara yang salah, dampaknya Tan Mokoginta kehilangan hak atas tanah,” terang Saddan Sitorus.
“Ternyata, mafia hukum dan mafia tanah dua hal yang tidak terpisahkan dalam sengketa ini, ada hubungan simbiosis mutualisme. Kesalahan-kesalahan terlapor telah dibungkus rapi oleh kantor pertanahan dan oknum penyidik dan pejabat polres, penyerobotan itu saat dilegalkan kalau dilihat dari penanganan perkara ini, kebal hukum sekali memang terlapor, sampai-sampai kejahatan ini terjadi secara sempurna dilindungi, luar biasa,” lanjutnya lagi.
Saddan menyikapi dua hal dalam sengketa ini. Pertama, Kantor Pertanahan dan Penyidik dan Pejabat Polres sangat pasif, sehingga tidak ada tindakan responsif untuk menindaklanjuti sengketa ini.
Kedua, sebaliknya institusi tersebut sangat aktif untuk membungkam bahkan mengintimidasi para ahli waris dalam mendapatkan hak-haknya sebagaimana dimaksud tercantum dalam SHM No. 335 Tahun 2019.
Saddan juga mempertanyakan kredibilitas penyidik dan menguraikan alasan menolak dihentikan proses pemeriksaan pada ketiga laporan polisi.
Pertama, Laporan Polisi No. 169/IV/2021/SULUT/SPKT/RES KTGU, tertanggal 26 April 2021.
Kedua, Laporan Polisi No. LP/B/352/VIII/2021/SULUT/SPKT/RES-KTGU, tertanggal 23 Agustus 2021.
Ketiga, Laporan Polisi No. LP/B/467.a/VIII/2022/Sulut/Res-Ktgu, tertanggal 22 Juli 2022.
Hal itu, kata dia, karena dinilai tidak melakukan pertimbangan yang sangat matang merujuk pada, satu, Putusan Pengadilan Inkrah No 4; dua, Surat Pengukuran Tahun 2016 membuktikan bahwa benar ukuran tanah milik Alm Tan Mokoginta telah diambil tanpa wewenang oleh Sonny R.V Mokoginta.
Tiga, menyadari melakukan kesalahan, Sonny mengakui perbuatannya dengan membuat surat pernyataan tahun 2016 dan tahun 2019.
Dan, keempat, ada penyidik pada LP Polisi No. LP/B/352/VIII/2021/SULUT/SPKT/RES-KTGU, tertanggal 23 Agustus 2021 telah dinyatakan bersalah dalam sidang kode etik oleh Propam Polri.
Peristiwa Tanggal 08-10 Februari Polisi Melakukan Intimidasi dan Tindakan Represif
Oknum Penyidik dan Pejabat Polres Kota Kotamobagu semakin membabi buta, pada kejadian pada pukul 21.00 WIT tertanggal 8 Februari 2023.
Hal itu sangat mengejutkan, sehingga timbul kekhawatiran pada Ahli waris atas nama Frangki Mokoginta, Hanny Mokoginta dan Jendri Mokoginta saat didatangi ratusan anggota kepolisian kota Kotamobagu, yang dipimpin Kasat Reskrim AKP Ahmad Anugrah dan Kapolsek Kotamobagu Kompol Luther Kadung (Instruksi Kapolres AKBP Dasveri, SIK), dan hadir juga orang-orang yang mengaku sebagai pembeli tanah dari Sonny (kedatangannya secara bersamaan).
Lebih Lanjut, kedatangan para Polisi itu sangat tendensius dan mengintervensi para ahli waris Alm Tan Mokoginta, tanpa disertai surat tugas. Tiba-tiba meminta secara paksa untuk menurunkan baliho tanpa menjelaskan apa maksud dan tujuan kedatangan.
“Ketika dimintai surat tugas atau surat perintah tidak satu pun dari polisi yang datang dapat memperlihatkan surat tersebut. Patut kami duga bahwa kedatangan tersebut adalah tindakan represif dan menyebabkan para ahli waris merasa terintimidasi dan ketakutan,” ungkap Saddan Sitorus.
Dia melanjutkan, bahwa kedatangan polisi menemui para ahli waris terjadi secara terus menerus. Dimulai dari pagi hari sampai malam hari, terhitung dari tanggal 08 sampai dengan tanggal 10 Februari 2023.
Namun tidak satu pun gagasan untuk memberikan hal-hal positif dalam menangani masalah ini.
Sebaliknya, yang ada hanyalah tindakan membuat para ahli waris menjadi takut dan terganggu kenyamanan psikisnya.
“Sudah jatuh tertimpa tangga pula, itulah kondisi para ahli waris Tan Mokoginta saat ini. Padahal mereka adalah korban, tetapi di Republik ini lewat upaya-upaya hukum, mereka tidak mendapatkan hak-haknya,” katanya.
“Jadi sudah dimengerti perihal mafia tanah dan hukum siapa sebenarnya. Ada pembiaran begini, maka selanjutnya akan ada menjadi tumbal dan korban, soal siapa pelaku semua bisa dikonsolidasikan, yang penting tuan senang,” tutur Saddan Sitorus.
Harapan Para Ahli Waris Tan Mokoginta
Saddan mengingatkan dengan tegas, bahwa perjuangan dirinya dalam sengketa masih terus berlanjut.
Dia tidak akan berhenti dalam melakukan upaya-upaya memperjuangkan hak-hak kliennya, sehingga Saddan masih berkeyakinan masih ada keadilan yang tegak pada sengketa tanah ini sekalipun dunia ini runtuh.
“Tidak selamanya pisau yang tajam itu bisa memenggal kepala orang tidak bersalah. Dan sebaliknya pisau yang dianggap tumpul bisa membedah isi kepala seseorang. Adagium ini yang menguatkan kami, keadilan itu masih ada,” ujarnya lagi.
Saddan Sitorus juga mengingatkan, bagi oknum-oknum yang bermain-main dalam sengketa ini telah secara terbuka melawan kebijakan Presiden Republik Indonesia, Jokowi Dodo.
Di mana dalam pidato-pidato Presiden Jokowi untuk melawan mafia tanah, menyebutkan bahwa Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum terus fokus untuk berupaya melakukan penyelesaian sertifikat tanah, guna mengatasi sengketa lahan.
Karena berbahaya terhadap dampak sosial dan ekonomi, bisa menyebabkan saling serang dan bunuh-bunuhan.
“Orang yang mengerti hukum dan menaatinya adalah orang yang mengerti peradaban, dan bagi melanggar adalah orang-orang biadab. Tinggal menunggu waktu, apakah Negara ini kalah dengan mafia hukum dan tanah,” katanya.
“Kinerja Kakantah dan Kapolres Kotamobagu perlu dievaluasi. Dan sebagai tindakan konkret proses upaya hukum, sudah kami laporkan ke masing-masing instansi. Kami menantikan hasil terbaik,” tandas Saddan Sitorus.***