Kisah sedih disampaikan seorang kakek berusia 80 tahun, Herman Djaya. Bertahun-tahun dirinya mencari keadilan dan kepastian hukum, namun tak kunjung didapatkannya.
Sudah bertumpuk laporan dan pengaduan yang dikirimkan Herman Djaya ke sejumlah instansi Aparatur Penegak Hukum (APH), seperti Kepolisian, Kejaksaan, bahkan ke Mahkamah Agung (MA), namun tak satu pun yang digubris dan ditindaklanjuti.
Bambang Djaya, yakni adik kandung kakek Herman Djaya, sebagai juru bicara keluarga, sangat menyayangkan kinerja Aparatur Penegak Hukum (APH) yang sangat tidak sesuai dengan jargon-jargon yang selalu dikampanyekan di berbagai media massa.
“Mungkin laporan-laporan Herman Djaya itu dibuang kali ke tong sampah. Dicueki, dan tak digubris. Masa kami sebagai Pencari Keadilan diperlakukan bagai pengemis di Negeri ini?” ujar Bambang Djaya, kepada wartawan, Selasa (18/04/2023).
Menurut Bambang Djaya, Kakek Herman Djaya itu pertama kali mengalami persoalan, tepatnya dipersoalkan oleh seseorang yang tak dikenalnya, yaitu seseorang bernama Muhammad Andi Azis Wellang atau Andi Azis Wellang atau Azis Wellang pada tahun 2010 silam.
Hal itu berkenaan dengan proses jual beli sebidang tanah dan bangunan di daerah Kebon Kosong, Jakarta Pusat. Herman Djaya yang sudah membeli dengan sah dan resmi, digugat oleh seseorang bernama Muhammad Andi Azis Wellang atau Andi Azis Wellang atau Azis Wellang.
Meskipun dalam semua gugatan yang dilakukan Muhammad Andi Azis Wellang atau Andi Azis Wellang atau Azis Wellang sangat jelas bahwa putusan-putusan Pengadilan telah memenangkan Herman Djaya, namun menurut Bambang Djaya, aksi-aksi dugaan kriminalisasi terhadap Herman Djaya terus menerus dilakukan Azis Wellang.
“Sampai sekarang, tak kelar-kelar. Kami menduga Muhammad Andi Azis Wellang atau Andi Azis Wellang atau Azis Wellang memanfaatkan oknum Penyidik Polri, oknum Jaksa dan oknum Hakim, serta oknum aparatur lainnya untuk mengkriminalisasi Herman Djaya,” tutur Bambang Djaya.
Karena itu, lanjutnya, pihaknya juga sudah melaporkan sejumlah oknum Penyidik Bareskrim Polri ke Divisi Propam Polri, demikian juga oknum Jaksa sudah dilaporkan kepada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum), Fadil Zumhana, dan kepada Jaksa Agung Republik Indonesia, ST Burhanuddin.
Bukan hanya itu, Bambang Djaya mengatakan, pihaknya juga sudah melaporkan oknum Hakim Agung ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Bawas MA RI), Dr. H. Andi Kurniawan., M.M., dan Kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Prof Dr H. M. Syarifuddin., S.H., M.H., serta kepada Menkopolhukam Mahfud MD.
Bambang Djaya merinci, oknum Penyidik Bareskrim Polri yang dilaporkan itu adalah atas nama Iptu Azis Riyanto, S.H., M.H., dengan Nomor NRP 79070458, dan Iptu Iwan Santoso, S.H., dengan Nomor NRP 79020398.
“Mereka selaku Penyidik Dittipidum Bareskrim Polri dalam menangani Laporan Polisi Nomor: LP/342/III/2017/Bareskrim, tanggal 29 Maret 2017, atas nama Pelapor Muhammad Aziz Welang,” tutur Bambang Djaya.
Sedangkan oknum Jaksa di bidang Pidana Umum Kejaksaan Agung (Jampidum) yang dilaporkan adalah Alviand Deswaldy, S.H., (Jaksa Pratama Utama), Deddy, S.H. M.H., (Jaksa Madya), Hevben, S.H., M.H., (Jaksa Muda), Suwardi, SH, dan Drs Joko Purwanto, S.H., (Jaksa Utama Muda) selaku Penuntut Umum.
“Para oknum Jaksa itu terindikasi kuat ada main dengan oknum Penyidik Polri yang menangani laporan, dan juga dengan Si Pelapor Azis Wellang,” ujarnya.
Selain itu, lanjutnya lagi, para oknum Hakim Agung di Mahkamah Agung Republik Indonesia juga dilaporkan.
Mereka adalah Majelis Hakim Peninjauan Kembali Kedua (PK 2) atas nama Dr H Andi Samsan Nganro, S.H., M.H., Dr H Haswandi, S.H., S.E., M. Hum., M.M., dan Dr HYulius, S.H., M.H.
Dikatakan Bambang Djaya, seseorang bernama Muhammad Azis Wellang telah melakukan Permohonan Peninjauan Kembali (PK) terhadap Putusan Nomor 108 PK/TUN/2020 Tanggal 21 Oktober 2020, telah diputuskan yang amarnya telah menolak Permohonan Peninjauan Kembali Saudara Muhammad Azis Wellang.
“Bahwa Saudara Muhammad Azis Wellang Telah melakukan Peninjauan Kembali II (PK-2) dengan alasan posita dan petitum sama. Anehnya PK tersebut dikabulkan,” katanya.
Padahal, berdasarkan Sema No 7 tahun 2014, MK No 34 PUU/XI/2013, pada Pasal 66 UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, tidak diperkenankan apabila peninjauan kembali ke II dilakukan menyangkut Pengadilan Tata Usaha Negara.
Bambang Djaya juga menguraikan, sedangkan berdasarkan Surat dari PTUN No. W2.TUN 1.2297/HK.06/XI/2019, tanggal 21 November 2019, menyatakan kepada Kepala Kanwil BPN Prov DKI Jakarta dan Kepala Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Pusat untuk Pelaksanaan Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
“Oleh karena itu, kami meminta keadilan, agar Hakim-Hakim pada Majelis Hakim Peninjauan Kembali (PK) kiranya dapat diproses dan dikenakan sanksi sesuai pelanggaran yang dilakukan,” tuturnya.
Bambang Djaya juga memohon agar Keputusan PK -2 No. 129 PK/TUN/2022, tanggal 27 Desember 2022, dapat dianulir segera, dan batal demi hukum.
“Semua dokumen, lengkap dengan bukti-bukti dan putusan-putusan turut kami lampirkan dalam setiap laporan yang kami lakukan. Jika mau saja para pimpinan mereka membuka dan membacanya serta memeriksa laporan itu, pasti sangat jelas pelanggaran dan kesalahan yang terjadi yang dilakukan oleh para oknum itu,” terang Bambang Djaya.
Bambang Djaya berharap, para pimpinan Polri, Jaksa Agung, dan Mahkamah Agung, serta Menkopolhukam Mahfud MD, bisa segera menindaklanjuti laporan yang dilakukan kakek Herman Djaya.
“Stop kriminalisasi kepada Herman Djaya. Dan hentikan praktik mafia hukum kepada para pencari keadilan,” pintanya.
Bambang Djaya menambahkan, kondisi kakek Herman Djaya saat ini sedang sakit-sakitan. Namun, anehnya, kata dia, ada saja informasi dari oknum-oknum yang mencoba mengancam dan mengintimidasi.
“Kami memohon agar laporan kami dibuka dan ditindaklanjuti. Jangan dibuang ke tong sampah. Kami pencari keadilan juga ingin membuktikan bahwa Aparat Penegak Hukum menepati jargon-jargonnya untuk memberikan keadilan kepada para pencari keadilan seperti kami,” tandas Bambang Djaya.
Sementara itu, kakek Herman Djaya dalam penjelasannya yang diterima wartawan, menuturkan kronologis munculnya gugatan Pasal 263 hingga terbitnya Surat P21 dari Jaksa yang dituduhkan kepada dirinya.
“Kasus ini bermula dari gugatan yang saya ajukan Prapid terhadap Mabes Polri di PN Jakarta Selatan, atas dasar gugatan terhadap saya tentang Menggunakan Surat Akte Palsu pada tahun 2016,” tutur kakek Herman Djaya dalam suratnya.
Dalam gugatan tersebut ada beberapa bukti yang diajukan oleh Ketua Tim Penasehat Hukum kami Bapak Piter Siringoringo SH, MH, salah satu bukti tersebut adalah Fotokopi Surat Keputusan dari BPN Jakarta Pusat yang mengatakan bahwa Sertifikat Pengganti atas nama Azis Wellang adalah Palsu.
Sementara Piter Siringoringo SH, MH, memperoleh fotokopi surat tersebut dari seseorang bernama Buce, yang diketahui merupakan sahabat dari Azis Wellang sendiri.
Karena dasar bukti bukti yang diajukan dalam gugatan Prapid tersebut hanya berupa fotokopi, maka hasil Keputusan Dalam Gugatan Sidang Prapid tersebut ditolak, tidak diterima, dan selesai.
“Dalam hal ini, jelas yang menggunakan Surat keterangan tersebut adalah Ketua Tim Penasehat Hukum Bapak Piter Siringoringo SH, MH. Dan jelas, bahwa yang memalsukan adalah Saudara Buce, yang merupakan sahabat dari Azis Wellang. Sehingga yang dirugikan dalam gugatan tersebut tidak ada,” jelas Herman Djaya.
Dan Kasus ini sudah pernah diajukan gugatan tetapi ditolak, yakni berkas P19 dikembalikan dan tidak dapat dinaikkan, hingga 3 kali, pada tahun 2017 lalu.
“Yang pada waktu itu sebagai Ketua Tim Penuntut Umumnya Bapak Bambang Sindhu SH, MH., dan Pak Rauf SH. Dan saya dengar sendiri pendapatnya yang disampaikan bahwa Tidak Cukup Bukti,” jelasnya.
Kemudian, lanjutnya, karena mengingat sebulan ke depan Jaksa Alviand Deswandy SH, akan pensiun, sehingga memaksakan kehendak dengan menghalakan segala cara dan atas pesanan pihak Pelapor.
“Bisa dikonfrontir dengan Penyidik Iptu Iwan Santoso,SH, yang diminta agar segera dikirim berkasnya, karena akan langsung diterbitkan P21,” katanya.
Walaupun Jaksa Rauf SH sendiri sudah sampaikan bahwa ini tidak layak diteruskan, tetapi kemudian karena Jaksa Rauf dipindahkan ke Itmil di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, maka ada peluang berkas diambil alih kembali oleh Jaksa Alviand Deswandy.
“Dikejarnya untuk diterbitkan P21 tanpa melalui proses yang sewajarnya. Sempat sewaktu kami mendengar berkas ini akan dinaikkan, kembali pihak Kuasa Hukum kami menemui Jaksa Alviand Deswandy, untuk menanyakan tetapi ditolak dan tidak mau ditemui, dengan alasan pusing dan sedang banyak urusan. Kami melihat ini semua sudah dikondisikan,” tutur Herman Djaya.
“Karena tidak mau ditemui, maka kami konsultasi ke Pak Heru Sriyanto,SH., MH, dia katakan ini surat sampah yang sudah dibuang di gudang, lalu dipungut kembali oleh Jaksa Alviand Deswandy,” lanjutnya.
Padahal, lanjut kakek Herman Djaya, yang dipermasalahkan dalam laporan pasal 263 ini adalah:
Surat yang digunakan berupa foto kopi.
Pihak yang dirugikan tidak ada.
Yang menggunakan foto kopi surat keputusan Badan Pertanahan Nasional (BPN) tersebut adalah Piter Siringoringo, selaku Ketua Tim Penasehat Hukum saat itu.
Yang membuat Surat Palsu tersebut adalah seseorang bernama Buce, yang diketahui merupakan kaki tangan dari Pelapor Azis Wellang sendiri.
“Pertanyaannya, mengapa P21 itu dituduhkan kepada saya?” ujar Kakek Herman Djaya.
Kemudian, kakek Herman Djaya juga menyebut sejumlah kejanggalan yang dialaminya selama perjalanan kasus yang dipaksakan untuk membelit dirinya itu.
Yakni, bahwa Kakek Herman Djaya tidak pernah menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
“Saya juga tidak pernah dimintai keterangan sebagai Saksi. Tidak ada juga keterangan sebagai Tersangka,” ungkapnya.
Kemudian, Surat Koordinasi dari Kejaksaan Agung yang disampaikan ke Mabes Polri tanpa tanggal, tanpa stempel, hanya fotokopi, tanpa tanda tangan basah yang ditanda tangani Jaksa Penuntut Umum Alviand Deswaldy SH, Deddy, SH, MH, Hevben, SH, MH., dan Suwardi,SH.
“Hal-hal seperti itu semuanya tidak pada tingkat kewajaran seakan dipaksakan, yang sudah dikondisikan dengan menghalalkan segala cara untuk mengeluarkan P21 yang ditujukan kepada saya,” ujar Herman Djaya.
Menurut kakek berusia 80 tahun ini, proses gugatan pasal 263 yang dialaminya itu semuanya dilakukan dengan cara-cara yang sudah terstruktur, sistematis dan masif.
“Dan ini semua salah sasaran bila ditujukan kepada saya. Saya mohon dapat dianulir. Besar harapan kami untuk mendapatkan Perlindungan Hukum dan rasa keadilan Bapak Jaksa Agung Republik Indonesia Bapak ST Burhanuddin, dari Kapolri Bapak Listyo Sigit, dan dari Ketua MA Bapak Syarifuddin,” tandas Kekek Herman Djaya.
Sedangkan Bambang Djaya menambahkan, atas laporannya ke Propam Polri, pihak penyidik baru hanya mengirimi Surat Pemberitahuan Perkembangan Penanganan Dumas (SP3D) tertanggal 12 April 2023.
“Disampaikan kepada Pelapor bahwa Bangyanduan Divpropam Polri telah menindaklanjuti laporan dengan melimpahkan laporan tersebut ke Birowassidik Bareskrim Polri untuk ditindaklanjuti. Demikian isi suratnya,” tutur Bambang Djaya.
Hingga berita ini ditayangkan, belum ada respon dari Polri, Kejaksaan maupun Mahkamah Agung.***